Kata-kata gagal merangkum sejuta sepi
kabur membiaskan segala senyap
dan kita penyuka luka yang berbahagia
bersama sejuta alasan memeluk sunyi
Dan kuharap kantuk itu datang
bukan dari dongengmu, bukan dari mantra
namun bahwa ini waktu bagi malam menjagaku
telah kuundang agar lindap di pelupukku
namun katanya, "maaf, sudah kau hitungkah bintang di langit?"
Penggalan puisi "Sunyi Sekelat Kopi" (Yuliani Kumusdawari) mampu menggambarkan kenangan, kesepian, kesunyian, kerinduan yang begitu komplek.
penyair kelahiran Bandung ini, mempunyai dua sosok. Sosok pertama merasa bahwa dia berada dalam situasi yang sebenarnya tidak diinginkan. Di sisi lain, sosok kedua, mencoba memberi pembenaran terhadap situasi-situasi itu.Â
Maka tak salah jika Simon HT (tokoh teater) menilai puisi-puisiHebatnya, di konflik pribadi itu terjadi tanpa bentrok. Sebentar merasa terkungkung, tapi sebentar kemudian dapat menerima keadaan itu. Tetapi pemicunya selalu situasi alam: malam, siang, meskipun nanti masalahnya kembali ke persoalan hening, sunyi, gelap.Â
Artinya ada dua kepribadian dalam puisi-puisi Yuliani: masa lalu yang sesungguhnya menginginkan tidak seperti sekarang dan  masa kini yang mencoba menenangkan bahwa inilah kebahagiaan itu.
Saat membaca puisi-puisi Yuliani, kita tiba-tiba akan merasa hening, senyap, sunyi, rindu, dengan persoalan yang cukup dalam.
Situasi tersebut berbeda dengan puisi-pusi Fauzi Absal yang bergerak dalam konflik masa lalu dan dunia kekinian yang bergemuruh.Â
Dalam puisi "Sketsa Puitika", ia mencoba melihat bahwa hidup itu damai-damai saja. Meskipun kemudian ada upaya menyesuaikan diri dengan zaman, tetapi ada hambatan-hambatan bagi generasi tua seusia Fauzi. Akhirnya penyair ini menghibur diri dengan memelihara mimpi di dalam dirinya.
Saat memberi catatan atas puisi Marjuddin Suaeb, Simon HT menekankan bahwa puisi Marjuddin merekam keresahan dengan berbagai wacana yang berkembang dalam masyarakat. Tetapi keresahan-keresahan itu  ditutup dengan jalan religius yang dipercaya sebagai jalan kebenaran.
Kesetiaan Fauzi Absal (73) dan Marjuddin Suaeb (70) yang tak kepalang tanggung terhadap puisi selama puluhun tahun, menyebabkan Ons Untoro berinisiatif menerbitkan puisi-puisi penyair kawakan ini. Ditambah dengan puisi-puisi  karya Yuliani Kumudaswari, penyair perempuan yang terus berkiprah di Sastra Bulan Purnama.
"Mereka merupakan penyair sejati karena tak pernah berhenti menulis puisi. Kapan pun diminta, mereka selalu siap dengan karya-karya terbaru. Proses kreatif mereka terus terasah sampai hari ini," ungkap Ons, koordinator Sastra Bulan Purnama.
Tidak dapat disangkal jika Fauzi (pengrajin sepatu), Marjuddin (petani), dan Yuliani (ibu rumah tangga) begitu teguh terhadap puisi dan meyakini puisi merupakan jalan menemukan makna hidup sesungguhnya. Jadi tidak salah  jika buku kumpulan puisi yang diluncurkan dalam kegiatan Sastra Bulan Purnama, edisi 150, di Museum Sandi (22/3/2024)  diberi judul Jalan yang Dipilih.
Acara launching buku  dimeriahkan dengan pembacaan puisi, antara lain oleh Arif Nurcahyo, Eko Winardi, Ikun Sri Kuncoro, Sonia Prabowo, Tari Sudhiarto, juga dimeriahkan lagu puisi oleh Joshua Igho dan Yupi.
Pada saat melagukan puisi "Tik Tok Pelangi" (Fauzi Absal), Yupi mengawalinya dengan kidung "Dongenge Kluwung" ciptaannya sendiri. Suara Yupi mengalun merdu, terlebih penampilannya didukung musisi Lim Hans.
Tidak terbantahkan bahwa lewat kegiatan rutin Sastra Bulan Purnama, kehidupan sastra di Yogyakarta terus berdetak, sekecil apa pun degup yang terdengar...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H