Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tidak Seharusnya Pensiunan Mati Gaya

7 Maret 2024   14:50 Diperbarui: 8 Maret 2024   22:37 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kreativitas tiada henti/Foto: dokpri Hermard

Semangat pensiunan/Foto: dokpri Hermard
Semangat pensiunan/Foto: dokpri Hermard
Selepas pensiun, Krishna Mihardja tetap semangat menulis, bahkan melahirkan novel berbahasa Jawa, Omah (Interlude, 2020), setebal seribu halaman lebih. Sepengetahuan saya, ini novel Jawa modern  paling tebal. 

Di samping itu, Krishna berhasil menerbitkan ulang kumpulan cerkak (cerpen) Ratu (Interlude, 2024) yang berisi sindiran terhadap pemerintahan Orde Baru. 

Penyuka wayang dan karawitan ini pun ikut meramaikan pertunjukkan  Pedhut ing Lereng Sumbing (kelompok kethoprak Mataram Dwi Mudo Budoyo) beberapa waktu lalu dengan turut nggamel, memainkan suling dan gambang.

Tiupan sakti mantan guru/Foto: Hermard
Tiupan sakti mantan guru/Foto: Hermard
Dhanu Priyo, salah seorang peneliti sastra Jawa, dari kantor pemerintah pusat yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta, pensiun tahun 2019, saat ini masih aktif diminta sebagai narasumber di berbagai komunitas, maupun di Dinas Kebudayaan DIY. 

Beberapa kali memenangkan lomba penulisan sastra, salah satunya lomba menulis novel berbahasa Jawa, lewat karyanya Pintan (2020).

Kreativitas tiada henti/Foto: dokpri Hermard
Kreativitas tiada henti/Foto: dokpri Hermard
"Sekarang tinggal menikmati hari tua, tidak repot berurusan dengan angka kredit jenjang peneliti, SKP, dan rapat-rapat," ujar Dhanu yang dulu nglaju dari Temon, Kulonprogo ke Kotabaru, Yogyakarta untuk sampai ke kantor.

Kelegaan yang sama dirasakan pensiunan dari Dinas Pendidikan Sleman, Sudiro, warga Babrik, Seyegan, Sleman. Begitu memasuki pensiun, mantan RT itu langsung terjun bertani ke sawah. Maklum, semasa mudanya ia akrab dengan sawah karena orang tuanya petani di Samigaluh.

"Sing penting ngobahke awak. Wis pensiun ki santai, dolan, neng sawah sak geleme. Angger ditelateni rak ya panen-yang penting menggerakan badan. Sudah pensiun, berarti santai, dolan, ke sawah semaunya. Asal telaten, pasti panen," jelas Sudiro tanpa beban.

Begitulah, beberapa orang menghayati hidup setelah pensiun dengan apa adanya.  Faktor utama yang dipertimbangkan adalah soal finansial yang jauh berkurang. 

Dulu saat menjadi pegawai negeri mendapatkan gaji pokok,  tunjangan anak istri, tunjangan kinerja, tunjangan fungsional, honor tambahan sana-sini. Hitung-hitung untuk golongan empat dengan fungsional peneliti madya, misalnya,  per bulannya bisa mengantongi uang antara sepuluh sampai lima belas juta. 

Setelah pensiun hanya menerima kurang dari lima juta rupiah yang harus dicukup-cukupkan membayar listrik, PDAM, sampah, internet,   UKT (anak masih kuliah), dan keperluan lainnya. 

Artinya, untuk bisa hidup apa adanya, pensiunan PNS dituntut setia memakai kacamata kuda, sehingga tidak lapar mata ingin membeli ini itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun