Selepas pensiun, Krishna Mihardja tetap semangat menulis, bahkan melahirkan novel berbahasa Jawa, Omah (Interlude, 2020), setebal seribu halaman lebih. Sepengetahuan saya, ini novel Jawa modern  paling tebal.Â
Di samping itu, Krishna berhasil menerbitkan ulang kumpulan cerkak (cerpen) Ratu (Interlude, 2024) yang berisi sindiran terhadap pemerintahan Orde Baru.Â
Penyuka wayang dan karawitan ini pun ikut meramaikan pertunjukkan  Pedhut ing Lereng Sumbing (kelompok kethoprak Mataram Dwi Mudo Budoyo) beberapa waktu lalu dengan turut nggamel, memainkan suling dan gambang.
Dhanu Priyo, salah seorang peneliti sastra Jawa, dari kantor pemerintah pusat yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta, pensiun tahun 2019, saat ini masih aktif diminta sebagai narasumber di berbagai komunitas, maupun di Dinas Kebudayaan DIY.Â
Beberapa kali memenangkan lomba penulisan sastra, salah satunya lomba menulis novel berbahasa Jawa, lewat karyanya Pintan (2020).
"Sekarang tinggal menikmati hari tua, tidak repot berurusan dengan angka kredit jenjang peneliti, SKP, dan rapat-rapat," ujar Dhanu yang dulu nglaju dari Temon, Kulonprogo ke Kotabaru, Yogyakarta untuk sampai ke kantor.
Kelegaan yang sama dirasakan pensiunan dari Dinas Pendidikan Sleman, Sudiro, warga Babrik, Seyegan, Sleman. Begitu memasuki pensiun, mantan RT itu langsung terjun bertani ke sawah. Maklum, semasa mudanya ia akrab dengan sawah karena orang tuanya petani di Samigaluh.
"Sing penting ngobahke awak. Wis pensiun ki santai, dolan, neng sawah sak geleme. Angger ditelateni rak ya panen-yang penting menggerakan badan. Sudah pensiun, berarti santai, dolan, ke sawah semaunya. Asal telaten, pasti panen," jelas Sudiro tanpa beban.
Begitulah, beberapa orang menghayati hidup setelah pensiun dengan apa adanya. Â Faktor utama yang dipertimbangkan adalah soal finansial yang jauh berkurang.Â
Dulu saat menjadi pegawai negeri mendapatkan gaji pokok, Â tunjangan anak istri, tunjangan kinerja, tunjangan fungsional, honor tambahan sana-sini. Hitung-hitung untuk golongan empat dengan fungsional peneliti madya, misalnya, Â per bulannya bisa mengantongi uang antara sepuluh sampai lima belas juta.Â
Setelah pensiun hanya menerima kurang dari lima juta rupiah yang harus dicukup-cukupkan membayar listrik, PDAM, sampah, internet, Â UKT (anak masih kuliah), dan keperluan lainnya.Â
Artinya, untuk bisa hidup apa adanya, pensiunan PNS dituntut setia memakai kacamata kuda, sehingga tidak lapar mata ingin membeli ini itu.