Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rematriasi bagi Masyarakat Adat

2 Maret 2024   18:10 Diperbarui: 2 Maret 2024   20:54 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perempuan Adat/Foto: AMAN

Masyarakat adat percaya terhadap keseimbangan semesta, manusia bukan segalanya, tetapi merupakan bagian dari alam. Itulah yang membuat masyarakat adat tidak akan mengambil lebih (serakah) dari apa yang dibutuhkan.

Di sisi lain, Meiliana Yumi, aktivis Perempuan Adat Rakyat Penunggu kampong Menteng Tualang Pusu menceritakan Tualang Pusu merupakan nama makam keramat Datuk Tualang Pusu yang dikenal juga dengan makam Keramat Kuda. Kuburan dengan pohon Tualang (pohon besar).

"Perempuan  adat Menteng Tualang Pusu, meskipun semula terpinggirkan di komunitas dan masyarakat karena dianggap bodoh, primitif, tetap terus berjuang mempertahankan wilayah adat, menginisiasi kelompok muda untuk mendapatkan hak wilayah adat," papar Yumi.

Sejak dahulu peran perempuan adat melakukan pengelolaan tanah adat, melaksanakan ritual adat apabila hendak melakukan penanaman benih, pemilihan benih, dan kegiatan di kampong sangat berpengaruh, terutama di dalam menjaga persediaan bahan makanan yang dihasilkan dari hasil pengelolaan tanah adat.

Ketika wilayah kelola perempuan adat mulai terganggu dengan adanya peminjaman tanah adat oleh Belanda untuk penanaman tembakau Deli, maka dampak terbesar sangat dirasakan oleh perempuan adat.

Di Kampong Menteng Tualang Pusu mulanya masyarakat adat berhak atas tanah jaluran, untuk bercocok  tanaman pangan di areal bekas panen tanamamn tembakau kolonial Belanda. 

Kegiatan bercocok tanam di lahan bekas tanaman tembakau yang berjalur-jalur ini kemudian disebut sebagai berladang jaluran atau berjaluran.

Saat Jepang berkuasa dan mengambil-alih semua tanah-tanah perkebunan tembakau, menggantinya dengan tanaman palawija, maka warga masyarakat adat tidak diperbolehkan mengelola dan memanfaatkan areal  tanah jaluran.

Saat Indonesia merdeka, pemerintah  melakukan nasionalisasi atas perusahaan-perusahaan milik asing, terutama Perusahaan Hindia Belanda, lalu membentuk Perusahaan Perkebunan Milik Negara dengan menerbitkan Hak Guna Usaha (HGU) untuk menguasai dan memanfaatkan seluruh tanah bekas perkebunan Hindia Belanda menjadi areal perusahaan perkebunan milik negara dengan menjadikannya perkebunan tebu, coklat, dan kelapa sawit.

Masyarakat adat kehilangan hak tanahnya, tidak bisa lagi melaksanakan berbagai tradisi, misalnya saja Ngahoi (pesta  panen padi), Gendong Bibit (persiapan menanam padi), dan sistem budaya serta ritual lain di wilayah adat, terutama di areal tanah jaluran.

Padahal sejak awal, Belanda tidak mengabaikan hak-hak masyarakat adat, membuat  kontrak yang dinegosiasikan dan disepakati bersama Rakyat Penunggu dengan berbagai syarat yang wajib dipenuhi oleh perusahaan Hindia Belanda yang dikenal dengan Akte van Consesi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun