Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rematriasi bagi Masyarakat Adat

2 Maret 2024   18:10 Diperbarui: 2 Maret 2024   20:54 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Memaknai Rematriasi/Foto: dokpri Hermard

Bagi Perempuan Adat Rakyat Penunggu Kampung Menteng Tualang Pusu, menanam adalah soal bertahan. Bertahan dari ketergantungan pangan pihak luar dan juga ancaman perampasan lahan. Begitu tulis Tonggo Simangunson, pemerhati masyarakat adat Nusantara, satu tahun silam.

Pemikiran kritis menyangkut keberadaan masyarakat adat  muncul kembali dalam Seminar Internasional Budaya REMATRIASI "m/otherland, m/other tongues" (29/2/2024) dengan menghadirkan pembicara Marolop Manalu Gorga (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara-AMAN), Meiliana Yumi (PEREMPUAN AMAN), Ican Harem, dan DJ Kasimyn (GMO Gabber Modus Operandi) di Gedung Sasana Ajiyasa ISI Yogyakarta. 

Kegiatan ini merupakan kolaborasi antara Jurusan Seni Murni, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia Yogyakarta dengan Sandberg Instituut, Amsterdam, Belanda.

Dalam sambutannya, M. Dwi Marianto (Ketua Panitia) menyatakan bahwa  rematriasi merupakan gerakan meriplay benih-benih asli untuk dibawa kembali ke ibu bumi dan kepada pemiliknya semula. 

M. Dwi Marianto/Foto: dokpri Hermard
M. Dwi Marianto/Foto: dokpri Hermard
Hal ini senada dengan ajakan  Marolop bahwa rematriasi bisa dilakukan dengan memberi dukungan terhadap keberadaan masyarakat adat, pengembalian wilayah adat kepada masyarakat adat melalui pengesahan RUU Masyarakat Adat, pengembalian semua benda kebudayaan masyarakat adat, dan pengakuan atas semua pengetahuan lokal masyarakat adat yang di klaim oleh pihak lain.

"Pada masa pemerintahan Kolonial Belanda, banyak benda-benda  kebudayaan yang terhubung  dengan masyarakat adat, pengetahuan, spiritualitas, yang kemudian diambil dengan alasan politik, penyebaran agama, dan sebagainya. Ini menyebabkan keterputusan pengetahuan bagi masyarakat adat. Mereka tidak dengan utuh dapat memahami pengetahuan empiris para datu dan tabib masa lalu," papar Marolop.

Kehilangan itu tidak saja  pada zaman Belanda. Selama masa Orde Baru sampai sekarang, terus terjadi penghilangan dengan tidak adanya pengakuan  terhadap masyarakat adat. 

Dampaknya masyarakat adat tidak berdaya, tidak ada hukum yang melindungi mereka untuk bisa mempertahankan wilayah, pengetahuan, dan unsur-unsur kebudayaan. 

Kondisi ini menyebabkan banyaknya tanah adat berubah fungsi menjadi perkebunan skala luas, pertambangan, dan industri eksraktif lainnya.

Hal dilematis adalah ketika Indonesia bangga terhadap kekayaan kebudayaannya. Tetapi di saat yang bersamaan kita tengah mengalami proses kehancuran, penghilangan, penghapusan karena kekayaan kebudayaan itu tidak mampu dilanjutkan, menjadikan kebutuhan material masyarakat adat untuk melakukan ritual adat tidak tersedia.

Misalnya saja ada ritual  menggunakan air yang tidak pernah dilangkahi manusia, tentu ini sulit dicari karena lingkungan dan bentangan alam sudah berubah. Sedangkan ritual itu merupakan proses bagi masyarakat adat dalam  menyeimbangkan alam.

Masyarakat Adat  merupakan komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya.

Masyarakat adat percaya terhadap keseimbangan semesta, manusia bukan segalanya, tetapi merupakan bagian dari alam. Itulah yang membuat masyarakat adat tidak akan mengambil lebih (serakah) dari apa yang dibutuhkan.

Di sisi lain, Meiliana Yumi, aktivis Perempuan Adat Rakyat Penunggu kampong Menteng Tualang Pusu menceritakan Tualang Pusu merupakan nama makam keramat Datuk Tualang Pusu yang dikenal juga dengan makam Keramat Kuda. Kuburan dengan pohon Tualang (pohon besar).

"Perempuan  adat Menteng Tualang Pusu, meskipun semula terpinggirkan di komunitas dan masyarakat karena dianggap bodoh, primitif, tetap terus berjuang mempertahankan wilayah adat, menginisiasi kelompok muda untuk mendapatkan hak wilayah adat," papar Yumi.

Sejak dahulu peran perempuan adat melakukan pengelolaan tanah adat, melaksanakan ritual adat apabila hendak melakukan penanaman benih, pemilihan benih, dan kegiatan di kampong sangat berpengaruh, terutama di dalam menjaga persediaan bahan makanan yang dihasilkan dari hasil pengelolaan tanah adat.

Ketika wilayah kelola perempuan adat mulai terganggu dengan adanya peminjaman tanah adat oleh Belanda untuk penanaman tembakau Deli, maka dampak terbesar sangat dirasakan oleh perempuan adat.

Di Kampong Menteng Tualang Pusu mulanya masyarakat adat berhak atas tanah jaluran, untuk bercocok  tanaman pangan di areal bekas panen tanamamn tembakau kolonial Belanda. 

Kegiatan bercocok tanam di lahan bekas tanaman tembakau yang berjalur-jalur ini kemudian disebut sebagai berladang jaluran atau berjaluran.

Saat Jepang berkuasa dan mengambil-alih semua tanah-tanah perkebunan tembakau, menggantinya dengan tanaman palawija, maka warga masyarakat adat tidak diperbolehkan mengelola dan memanfaatkan areal  tanah jaluran.

Saat Indonesia merdeka, pemerintah  melakukan nasionalisasi atas perusahaan-perusahaan milik asing, terutama Perusahaan Hindia Belanda, lalu membentuk Perusahaan Perkebunan Milik Negara dengan menerbitkan Hak Guna Usaha (HGU) untuk menguasai dan memanfaatkan seluruh tanah bekas perkebunan Hindia Belanda menjadi areal perusahaan perkebunan milik negara dengan menjadikannya perkebunan tebu, coklat, dan kelapa sawit.

Masyarakat adat kehilangan hak tanahnya, tidak bisa lagi melaksanakan berbagai tradisi, misalnya saja Ngahoi (pesta  panen padi), Gendong Bibit (persiapan menanam padi), dan sistem budaya serta ritual lain di wilayah adat, terutama di areal tanah jaluran.

Padahal sejak awal, Belanda tidak mengabaikan hak-hak masyarakat adat, membuat  kontrak yang dinegosiasikan dan disepakati bersama Rakyat Penunggu dengan berbagai syarat yang wajib dipenuhi oleh perusahaan Hindia Belanda yang dikenal dengan Akte van Consesi. 

Isinya mengakui, mengatur, dan melindungi hak serta kedaulatan Masyarakat Adat Rakyat Penunggu, terutama dalam pengelolaan dan pemanfaatan tanah-tanah adat Rakyat Penunggu untuk perladangan, perkampungan dan hutan reba (hutan yang dilindungi).

Setelah Bangsa Indonesia   merdeka,  pemerintah mengambil alih penguasaan tanah adat yang dikenal dengan nasionalisasi. Seluruh kontrak/ konsensi yang pernah dilakukan oleh Masyarakat Adat Rakyat Penunggu dengan  pemerintah kolonial Belanda tidak diberlakukan. 

Seluruh tanah adat yang dijadikan perkebunan tembakau kolonial Belanda  diambil alih dan dikuasai oleh pemerintah. Masyarakat Adat Rakyat Penunggu dilarang melakukan kegiatan "berjaluran" di areal tanah adat yang telah diambil alih oleh pemerintah  untuk perkebunan negara.

Perempuan Adat/Foto: AMAN
Perempuan Adat/Foto: AMAN
"Sekarang ini perempuan adat merasa khawatir karena ada sebelas kampong terancam proyek Megapolitan. Situasi ini tentu saja menghilangkan kebudayaan dan kearifan lokal yang mulai direkonstruksi oleh masyarakat adat Nusantara untuk mengetahui apa yang dilakukan leluhur pada masa lalu," tutur Yumi dengan suara bergetar.

Ia juga menjelaskan bahwa perampasan wilayah adat dan wilayah kelola perempuan adat di Kalimantan Timur, kasus tujuh kabupaten di Nusa Tenggara Timur, merupakan gambaran bahwa tekanan terhadap masyarakat adat sangat tinggi dan terus terjadi.

Permasalahan menyangkut masyarakat adat sesungguhnya bisa ditengahi dengan kebijakan negara secara umum yang mengakui keberadaan masyarakat adat.  

Misalnya saja dengan mencermati Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Indentifikasi Keberadaan Masyarakat Adat. 

Di sisi lain dengan mempertimbangkan kebijakan negara dengan memperhatikan sejarah wilayah adat/Tanah Adat Masyarakat Adat Rakyat Penunggu yang dibuktikan dengan adanya kotrak perkebunan tembakau oleh perusahaan Hindia Belanda yang dikenal sebagai Akte van Konsesi, dan peta wilayah adat/Ulayat Masyarakat Adat Rakyat Penunggu.

Peserta Seminar Rematriasi/Foto: dokpri Dwi Marianto
Peserta Seminar Rematriasi/Foto: dokpri Dwi Marianto
Belakangan ini Perempuan Adat mulai bergerak melakukan Pendataan SDG's dan Assesmen Ekonomi warga yang difasilitasi oleh PEREMPUAN AMAN,  akan digunakan untuk mendorong SK Pengakuan dari Pemerintah Desa tentang Keberadaan Masyarakat Adat Rakyat Penunggu Kampong Menteng Tualang Pusu.
Selain itu, Perempuan Adat mulai mengembalikan ritual-ritual adat, seperti kenduri dan membakar Lemang  setelah Hari Raya Kurban.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun