Saat tradisi nyewu (peringatan seribu hari orang meninggal dunia), biasanya tuan rumah menyediakan nasi berkatan disertai lauk-pauk, diganti dengan bahan mentahan: mie instan kemasan, telur, gula, teh, dan sebagainya yang dirasa lebih praktis, tanpa menghiraukan lagi makna simbolik tradisi yang terdapat dalam nasi berkatan.
Jika semula hanya ada pedagang keliling penjual sayuran dari rumah ke rumah, lambat laun pedagang kue/roti, bakso, siomay, mie ayam, bakpao, es krim berkeliling perumahan dan setelah dari perumahan, para pedagang menyusuri jalan-jalan di pedesaan. Anak-anak desa pun mulai terbiasa sarapan bakpao, menikmati es krim, dan roti aneka rasa.
Hiburan masyarakat pedesaan juga mulai berubah. Jika semula hampir sebulan sekali menyaksikan jatilan sebagai kesenian tradisi masyarakat Pundong, akhirnya kelompok kesenian jatilan hanya pentas saat ditanggap orang yang punya hajatan atau saat ada pentas budaya dalam rangka memetri desa.Â
Hal itu terjadi karena kesenian perkotaan mulai melesak ke pedesaan: orgen tunggal, dance kontemporer, akustikan, menyebabkan kesenian tradisional kian tersisih dan tidak memiliki ruang ekspresi.Â
Malam tujuh belasan di perumahan pun, dibuka dengan satu-satunya tarian tradisional, Gambyong-sebagai ucapan selamat datang bagi tamu undangan, selebihnya para remaja menampilkan dance, tari kontemporer, fashion show, grup band, bahkan stand up comedy.
Tahun 2011, jaringan internet masuk ke perumahan, meskipun bukan internet cepat, tetapi dirasa cukup untuk memenuhi kepentingan pekerjaan dan komunikasi penghuni perumahan.
Pada tahap berikutnya, internet diperlukan sebagai sarana mendapatkan hiburan, informasi, belanja online, dan berpergian.
Beberapa rumah masyarakat desa pun mulai tersambung dengan jaringan internet, terutama masyarakat desa yang bekerja di kota sebagai guru, pegawai negeri, pekerja swasta, demi melek informasi. Sebagian remaja pekerja pabrik pun perlahan melek internet.
Situasi tersebut membawa pengaruh dalam pergaulan di desa, terjadi pergeseran dalam pola berkomunikasi. Jika semula komunikasi bersifat komunal, bergeser ke individual. Artinya, cara berinteraksi dengan berkumpul di lingkungan sosial tradisional bergeser ke area privatisasi.Â
Kondisi ini pada gilirannya menimbulkan shock culture dan kegagapan di kalangan generasi tua karena mereka tidak siap menerima kemajuan dan kemudahan berkomunikasi lewat jaringan internet.