Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Dari Omah Pitulungan sampai Pasar Legi Kotagede

8 Februari 2024   07:03 Diperbarui: 14 Februari 2024   17:34 618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa yang tidak ada di Jalan Mentaok Raya di hari Minggu Legi? Dari jimat, wayang, akik, ikan hias, tukang obat, bebek, ayam, pakaian, lampu, barang  elektronik, dan apa pun lainnya, bisa  didapatkan di sepotong jalan yang tembus sampai ke Jalan Masjid Mataram.

Jangan heran kalau Jalan Mentaok Raya di sisi timur Pasar Legi (Sargedhe-Pasar Gedhe) Kotagede, Yogyakarta, pada setiap pasaran legi (terutama Minggu Legi) menjadi semrawut dengan tumpah ruahnya para pedagang yang memenuhi badan jalan di kedua sisinya. Belum lagi ditambah lalu lalang pejalan kaki (calon pembeli) dan sepeda motor yang tetap merayap melintas.  

Rayuan tukang obat/Foto: Hermard
Rayuan tukang obat/Foto: Hermard
Aja gumun kalau tukang obat mampu menarik perhatian banyak orang untuk mengelilinginya di bawah payung besar. Lewat pengeras suara ia "merayu" dapat menyembuhkan segala macam penyakit:  sakit pinggang, stroke, kolesterol, asam urat, syaraf kejepit, dan  lainnya.

"Mangga bapak ibu, menika obat sae kagem stamina. Campuran pasak bumi kaliyan purwaceng. Mboten pareng kagem ibu hamil-silakan bapak ibu, ini obat mujarab untuk meningkatkan stamina. Campuran pasak bumi dan purwaceng. Tidak dianjurkan bagi wanita hamil," rayu Nanang sambil memegang botol kecil berisi ramuan berwarna cokelat. 

Lelaki bertopi dan bercelana jins biru itu membuka lapak pengobatan terapis tapak syaraf pada setiap pasaran legi.

Gang kota tua/Foto: Hermard
Gang kota tua/Foto: Hermard

Pagar masjid/Foto: Hermard
Pagar masjid/Foto: Hermard
Pagi Minggu Legi (4/2/2024), saya bersama Ibu Negara Omah Ampiran, Mbak Rindu, Mbak Oi, Mas Satriya Wibawa (Bawa-pemilik Omah Pitulungan),   Mas Dika, Mbak Janet, dan Dik Fares, mengawali petualangan menyusuri gang-gang sempit Kotagede dari Omah Pitulungan.  

Omah Pitulangan merupakan sebuah rumah yang diharapkan  dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan sosial budaya dan berguna bagi masyarakat luas.

Sebagai penduduk asli Kotagede, Mas Bawa menjadi guide jempolan menelusuri gang-gang sempit, yang terkadang hanya dapat dilalui satu orang. Gang-gang sempit dengan tembok tinggi dan rumah lawasan bergaya Eropa, joglo, serta limasan dapat dimaknai sebagai jejak peninggalan masa lalu.

Omah Pitulungan berada di Jalan Joyopranan No. 7A, Singosaren, Kotagede. Dari sini jika ingin menempuh jalan pintas ke pasar, tinggal berjalan kaki ke arah utara, lalu berbelok ke barat. 

Tetapi kali ini Mas Bawa  membawa kami ke pasar dengan jalan memutar, mengambil arah barat, terus berbelok ke selatan. Tak lama kemudian kami sampai di salah satu sudut wilayah Purbayan.

Pintu barat Gang Rukunan/Foto: Hermard
Pintu barat Gang Rukunan/Foto: Hermard
"Kita sudah berada di Lawang Pethuk atau Between Two Gates sisi timur, jalan  yang ada di depan  dikenal sebagai Gang Rukunan. Pada zaman  kerajaan Mataram Islam di wilayah kampung ini dulunya terletak alun-alun," jelas Mas Bawa.

Sambil melintas di depan rumah Jawa yang saling berhadap-hadapan, Mas Bawa bercerita jika rumah-rumah itu masing-masing dimiliki satu keluarga. Mereka hidup berdampingan, saling membantu.

Tembus di Jalan Masjid Mataram, kami masuk ke area Masjid Gedhe Mataram yang dibangun pada masa Panembahan Senopati. Mulai  dibangun tahun  1578 dan selesai pada tahun 1987.

Pohon Nagasari/Foto: Hermard
Pohon Nagasari/Foto: Hermard
Berjalan di bawah pohon nagasari di depan kompleks makam raja-raja, kami berbelok ke arah kompleks sendang. Menurut Mas Bawa, pada masa lalu, baik sendang putri maupun sendang kakung merupakan tempat pemandian putra-putri raja.

Kami keluar dari pintu utara  masjid mengelilingi pagar sisi utara dan barat menuju Omah Indische (didirikan tahun 1860), bangunan kuno berarsitektur kolonial,  terletak di Gang Soka. Gang ini sempat terkenal karena digunakan sebagai tempat penggambilan gambar film Ada Apa Dengan Cinta (disutradarai Rudy  Soedjarwo, 2002).

"Kita belok ke kanan setelah melewati rumah hijau. Ada hal unik yang akan kita temukan," ujar Mas Bawa  membuat kami penasaran.

Gang Ngerikan/Foto: Hermard
Gang Ngerikan/Foto: Hermard
Sampai di Gang Ngerikan, kami masuk ke timur lalu ke utara,   berjalan berbaris satu per satu karena sempit.

Tiang listrik unik/Foto: Hermard
Tiang listrik unik/Foto: Hermard
"Ini Mas, Mbak, kejutannya. Tiang listriknya bukan dari besi atau beton, tetapi berupa gelondongan  kayu  ulin. Ada dua, yang di sana ada bekas disrempet motor karena jalannya memang sempit," jelas Mas Bawa.

Sudut Pasar Legi/Foto: Hermard
Sudut Pasar Legi/Foto: Hermard
Sampai di Jalan Mondorakan menuju Pasar Legi, Mbak Rindu membeli penganan carabikang di emperan kaki lima. Di Pasar Legi, Mbak Rindu, Mbak Oi, dan Ibu Negara Omah Ampiran melengkapi jajanan dengan lepet jagung, roti kembang waru, dan legomoro.

"Mangga Den, gudeg, oseng-oseng tempe gembus...," ujar ibu-ibu tua pemilik lapak di tengah los pasar.

Pasar Kotagede atau yang lebih dikenal dengan nama Pasar Legi Kotagede merupakan pasar rakyat, berdiri  sejak zaman Panembahan Senopati. Sampai saat ini bentuk bangunan aslinya tetap dipertahankan. 

Pasar legendaris/Foto: Hermard
Pasar legendaris/Foto: Hermard
Keberadaan pasar ini diapit oleh  Pacak Suji (monumen Jumenengan Sri Sultan Hamengkubuwono IX) di sisi timur laut, dan Babon Aniem (gardu induk listrik) di sisi barat laut pasar. Pelatarannya dipenuhi pepohonan dan disesaki  aktivitas jual beli, khususnya pada hari pasaran Legi.

Blusukan di Kotagede merupakan sensasi yang tak terkatakan karena Kotagede merupakan bekas ibukota kerajaan Mataram Islam yang menurut Babad Tanah Jawi didirikan oleh Ki Ageng Pamanahan di atas tanah hutan Mentaok.

Keelokan masa lalunya tidak hanya tergambar dari gang-gang sempit berliku, tembok tinggi, bangunan omah kalang, tetapi juga dari jajanan pasar tempo doeloe yang tetap dipertahankan: roti kembang waru, kipo, legomoro, dan lepet jagung.

Legomoro/Foto: Hermard
Legomoro/Foto: Hermard
"Rasa legomoro-nya enak, gurih. Ketannya lembut," puji Mbak Oi dan Ibu Negara Omah Ampiran.

Makan siang di Omah Pitulungan/Foto: Hermard
Makan siang di Omah Pitulungan/Foto: Hermard
Saat menikmati teh hangat di Omah Pitulungan, entah mengapa yang terbayang dalam pikiran selalu saja teriakan khas Nanang si tukang obat: Mangga bapak ibu, menika obat sae kagem stamina. Campuran pasak bumi kaliyan purwaceng...

Pointer: Kegiatan jual-beli di pasar tradisional  Yogyakarta mencapai puncak keramaian pada   penanggalan Jawa atau pasaran tertentu. Pasar akan diramaikan oleh pedagang yang membuka lapak di sekitar pasar. Misalnya Pasar  Bantul dan Pasar Cebongan (pasaran Kliwon), Pasar Godean (Pon),  Pasar Kotagede (Legi), Pasar Sleman (Pahing), dan Pasar Tegalrejo (Wage).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun