Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pak Mardjoko: Kesetiaan pada Kehidupan Desa

23 Januari 2024   17:34 Diperbarui: 23 Januari 2024   21:14 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa keluarga di perumahan membeli telur bebek angon Pak Mardjoko karena rasanya lebih gurih, gempi, dan warna kuning telornya tidak pucat. Maklum bebek angonan mengkonsumsi makanan alam, bukan konsentrat prabrikasi.

Begitulah mereka saling bahu-membahu menggeluti dunia tanen (bertani) yang semakin tidak diminati generasi muda di desa.

Sekarang di desa, semakin sulit mencari tenaga yang bersedia menggarap sawah.  Generasi muda lebih memilih bekerja ke kota sebagai buruh pabrik. Pekerjaan tanen dianggap kalah gengsi dibandingkan pekerjaan di kota. Mereka lebih bangga memberi jawaban sebagai pekerja pabrik dibandingkan sebagai petani yang identik dengan sawah.

Setidaknya situasi tersebut membuktikan  apa yang diperbincangkan para winasis benar-benar terjadi, bahwa dalam perubahan dari masyarakrat agraris (pedesaan) ke modernisasi (kota), norma-norma sosial akan kehilangan keseragaman. 

Hadirnya perumahan (dihuni orang-orang pekotaan), supermarket, loundry, sambungan internet di  wilayah pedesaan, mau tidak mau, menggeser  budaya dan simbol-simbol, serta cara berbahasa masyarakat pedesaan.   Hal tersebut juga dapat dilihat  dari ditinggalkannya pekerjaan tradisional (tandur, tanen) ke pekerjaan lain yang bergantung pada pasaran kerja.

Menurut Kuntowidjoyo-dalam "Perubahan Sosial-Kultural Desa dan Pertumbuhan Demokrasi"-masuknya budaya kota ke pedesaan menyebabkan cara berpakaian, sopan-santun-terutama generasi muda-tidak banyak berbeda dengan masyarakat kota; simbol-simbol budaya lokal tergeser oleh budaya kota.  

Di sisi lain, Kuntowidjoyo menggariskan terjadinya mobilitas masyarakat pedesaan; tenaga kerja pedesaan mengalir ke kota, baik nglajo, musiman, atau menetap.

Keliling desa bersama Pak Mardjoko/Foto: Hermard
Keliling desa bersama Pak Mardjoko/Foto: Hermard
Ketika rumah Pak Mardjoko tergusur karena proyek strategis nasional Pembangunan Jalan Tol Yogya-Bawen, ia tidak berkeinginan pindah ke kota. Ia membangun rumah di sisi selatan, berjarak tidak lebih dari lima ratus meter dari rumah lamanya.

"Menawi dateng kuta, kula mboten saged tandur, ngingu wedus, sapi, bebek. Kula nut laku minangka tiyang ndesa. Pejah gesang, wonten mriki mawon-kalau pindah ke kota, pasti saya tidak bisa bercocok tanam, memelihara kambing, sapi, bebek. Saya mengikuti garis hidup di desa. Hidup mati lebih nyaman di desa," jelas Pak Mardjoko mantap.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun