Jam menunjukan pukul sepuluh malam. Aku masih termenung di beranda. Beberapa kali tulisan di gawai aku baca ulang, belum juga puas. Beberapa kata, bahkan kalimat aku ganti, tetap saja belum mewakili pikiranku. Lenguhan sapi terdengar di kejauhan. Lolong anjing terdengar di kejauhan. Orang kampung memukul tiang listrik lima kali di gang utara rumah. Suara-suara itu seakan mewakili keresahan hatiku.
Mengapa menulis di platform Kompasiana?
Menulis di Kompasiana ternyata bukan sekadar menulis, begitu jadi dan dimuat, terus selesai. Tidak! Harus ada kebersediaan diri untuk berbagi, menjalin silaturahmi dengan membalas komentar, memberi rating, demi saling menyemangati.Â
Jadi di platform ini tidak berlaku ungkapan bahwa diam adalah emas. Jika diam, Â berarti kita siap tidak menjadi apa-apa dan tak mengenal siapa-siapa.
Apa yang dilakukan sebelum memulai aktivitas menulis?
Sebenarnya menulis bisa dimulai dari hal-hal yang kita pikirkan, rasakan, alami, dan amati. Sebelum menulis, biasanya saya mematangkan ide dengan memperkaya referensi, membaca, mendengarkan, dan menjelajah dunia maya.Â
Di Kompasiana, admin sering memantik ide melalui topik pilihan. Ini sangat membantu kalau kita sedang buntu, tak tahu harus menulis apa.
Tampaknya Anda tidak membatasi jenis tulisan yang ditampilkan?
Begitulah. Kadang saya menyamar sebagai esais, pura-pura menjadi penyair, cerpenis, traveler, dan ini sah-sah saja, asalkan semua ditulis sesuai ketentuan yang berlaku di Kompasiana.
Mengapa lebih memilih menulis di jalan sunyi?
Hahaha... Alasannya karena saya tidak akrab dengan dunia politik, ekonomi, dan olah raga. Makanya saya lebih banyak menulis berkaitan dengan humaniora, khususnya kesenian. Risikonya pembacanya menjadi terbatas karena dunia seni memang tidak menjadi pilihan banyak orang.Â
Di sisi lain ya karena saya sudah kadung nyebur ke sana. Setidaknya orang lebih mempercayai saya membahas soal kesenian dibandingkan politik. Hahaha. Ini cara saya menghibur diri sendiri...
Adakah rahasia agar tulisan menjadi Artikel Utama?
Tidak ada. Itu rahasia miliknya admin Kompasiana. Bahkan Engkong Felix Tani juga tidak paham formulanya. Secara pribadi saya menyodorkan banyak data. Konon katanya AU rada-rada ngilmiah, ditulis memakai ragam  semi ilmiah-baik dari judul maupun isinya. Â
Tapi saya tak peduli, hal terpenting adalah menulis, menulis, dan menulis! Nyatanya tulisan yang saya rasa biasa-biasa saja bisa muncul menjadi Artikel Utama. Sebaliknya, ada tulisan yang dikerjakan dengan serius, e, mandek di Artikel Pilihan.Â
Akhirnya ya saya  biarkan tulisan menemukan jalan dan nasibnya sendiri-sendiri.
Dalam menulis, lebih penting ide/gagasan atau bahasa?
Jika tulisan kita ingin dimengerti dan dibaca orang banyak, ya tentu saja unsur kebahasaan menjadi kunci utama. Sebagus apa pun ide yang kita miliki, tetapi disampaikan dengan bahasa yang amburadul, ya tulisan itu tidak akan mampu menarik perhatian.Â
Lha wong baru mau membaca saja, kepala sudah pusing karena tidak memahami apa yang ditulis. Jadi bagi saya, untuk menjadi penulis yang baik, maka harus memahami unsur-unsur kebahasaan. Tidak malas membuka EYD dan KBBI.
Apa makna peringkat #38 di Kompasiana?
Tentu saya merasa bersyukur. Ini pencapaian yang tidak mudah. Saya cuma tidak akan sanggup kalau dituntut menulis sehari sampai empat tulisan biar dapat K-rewards atau jadi penulis produktif.
Apa harapan terhadap Kompasiana di tahun 2024?
Semoga menjadi platform yang lebih bergengsi, disukai banyak penulis dan pembaca. Melahirkan tulisan-tulisan bermutu dengan menciptakan suasana yang sejuk  bagi Indonesia Raya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H