Pertanyaannya adalah akan terjaga sampai kapan nilai-nilai Jawa-harmoni, kultur dan filosofi Jawa- sanggup dipertahankan Mustofa? Â
Mungkin penggalan puisi "Nasihat  Ki Juru Mertani" (Mustofa W Hasyim), berisi ilmu sesrawungan-orang yang derajatnya tinggi adalah mereka yang mudah srawung, dapat menjadi jawaban:
Hidup memerlukan mata air bersahabatlah dengan tuk, belik, sendang, blumbang, telaga kalen dan kali yang panjang berliku mewartakan musim berganti menyegarkan reruntuhan kenangan balaslah pertanyaan ikan kecil mengapa dia harus melawan arus?
....
Dengan membaca batu, bunga telasih puring, kamboja, rumput alang-alang, kara hutan, rumpun bambu, pohon jarak purba, jejak peziarah kampung bahkan kerajaan tersembunyi dalam hening menakutkan engkau akan tahu bahwa setiap sangkan akan menuju paran yang kadang jelas kadang penuh kabut.
Jika nilai-nilai tersebut mampu terus dipertahankan, apakah puisi tetap dibaca orang? Pertanyaan ini berkaitan dengan kegelisahan Simon HT bahwa keberadaan sastra seakan bukan bagian kehidupan sehari-hari. Sastra digolongkan semacam sesuatu yang sakral, gaib, dan jauh dari masyarakat.Â
Bahkan bagi Ons Untoro, sastra seperti orang berteriak di padang gurun, dunia yang sepi, sebuah dunia yang ada di pinggiran.
Acara Obrolan Puisi Perang yang Damai karya Mustofa W Hasyim digagas oleh Komunitas Sastra Bulan Purnama dan Balai Bahasa Yogyakarta, dilaksanakan Jumat (8/12/2023) di Ruang Sutan Takdir Alisjahbana-BBY.
Menghadirkan pemantik obrolan dua penyair senior Yogyakarta: Mustofa W Hasyim dan Sutirman Eka Ardhana, dimeriahkan pembacaan puisi oleh Ana Ratri dan Eko Winardi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI