Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Mustofa dan Puisi dengan Kultur Mataram Jawa

8 Desember 2023   19:58 Diperbarui: 9 Desember 2023   10:12 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mustofa dan Eka Ardhana/Foto: Hermard

Berangkat dari keyakinan bahwa puisi merupakan anak ruh penyair dan    bahasa peradaban, Sutirman Eka Ardhana menilai puisi-puisi Mustofa W. Hasyim sebagai puisi yang syarat dengan kultur Jawa. Hal ini dengan mengingat latar belakang penyair yang lahir di Kotagede sebagai tempat lahirnya peradaban Mataram Islam.

Kuatnya nilai-nilai kejawaan itu terasa juga dalam cara berkomunikasi Mustofa lewat puisi, ia mampu menyembunyikan segala emosi, tidak berniat menyinggung orang lain, bahkan terkadang puisinya terasa semu.

"Kalau obrolan kali ini tentang puisi dan perang yang damai, saya memahami bahwa dalam konteks puisi-puisi Mustofa, maka dapat dimaknai dalam konsep pandangan hidup masyarakat Jawa, yaitu menang tanpa ngasorake-menang tanpa merendahkan, ngluruk tanpa bala-meyerbu tanpa pasukan, dan sugih tanpa banda- kaya tanpa bergantung pada harta," jelas Eka.

Obrolan puisi/Foto: Hermard
Obrolan puisi/Foto: Hermard
Spirit kejawaan dan kecintaan terhadap puisi, dapat dicermati dari masa kecil Mustofa. Ia belajar di Sekolah Dasar Muhammadiyah Bodon, Kotagede, sebuah sekolah tua didirikan pada bulan Mei tahun 1924.

Kemudian, di kelas VI, Mustofa berjalan-jalan ke Kota Yogyakarta sampai pasar Beringharjo. Pulangnya mampir ke Museum Perjuangan, Brontokusuman. Di belakangnya ada Museum Angkatan Darat. Di sebuah papan yang bagus tertulis puisi Chairil Anwar  "Kerawang Bekasi". Ia terpesona dengan puisi itu.

"Wah, asyik juga jadi penyair, karyanya bisa dipasang di museum. Kalau begitu saya ingin jadi penyair," tulis Mustofa dalam buku Ngelmu iku Kelakone kanthi Laku, Proses Kreatif Sastrawan Yogyakarta.

Saat  di sekolah menengah di Pendidikan Guru Agama Ma'had Islami Kotagede, ada guru cantik bernama Bu Sutiyah, suka mengajarkan sastra dengan cara menarik. Ia masih ingat betul, waktu itu pelajaran sastra sampai pada pelajaran puisi lama. Dimulai dari pantun, kemudian syair, gurindam, dan sebagainya. 

Waktu pelajaran pantun, Bu Sutiyah memerintahkan murid-murid membuat pantun sebagai pekerjaan rumah (PR). Tidak ada murid yang berani membantah, sebab cukup dengan sebuah senyuman amat manis, semua murid laki- laki di kelas langsung tertunduk. 

Begitulah, Mustofa dan teman-teman belajar menulis puisi mulai dari pantun. Kekaguman kepada Chairil Anwar dan Taufiq Ismail di waktu sekolah dasar tenggelam karena Bu Sutiyah.

Sementara Indro Suprobo menilai bahwa kejawaan dan keislaman menjadi ekosistem karya-karya Mustofa.

"Ia mampu merekonstruksi wacana, konteks yang ada dalam pemikiran dan konteks peradaban."

Pertanyaannya adalah akan terjaga sampai kapan nilai-nilai Jawa-harmoni, kultur dan filosofi Jawa- sanggup dipertahankan Mustofa?  
Mungkin penggalan puisi "Nasihat  Ki Juru Mertani" (Mustofa W Hasyim), berisi ilmu sesrawungan-orang yang derajatnya tinggi adalah mereka yang mudah srawung, dapat menjadi jawaban:

Hidup memerlukan mata air bersahabatlah dengan tuk, belik, sendang, blumbang, telaga kalen dan kali yang panjang berliku mewartakan musim berganti menyegarkan reruntuhan kenangan balaslah pertanyaan ikan kecil mengapa dia harus melawan arus?
....
Dengan membaca batu, bunga telasih puring, kamboja, rumput alang-alang, kara hutan, rumpun bambu, pohon jarak purba, jejak peziarah kampung bahkan kerajaan tersembunyi dalam hening menakutkan engkau akan tahu bahwa setiap 
sangkan akan menuju paran yang kadang jelas kadang penuh kabut.

Jika nilai-nilai tersebut mampu terus dipertahankan, apakah puisi tetap dibaca orang? Pertanyaan ini berkaitan dengan kegelisahan Simon HT bahwa keberadaan sastra seakan bukan bagian kehidupan sehari-hari. Sastra digolongkan semacam sesuatu yang sakral, gaib, dan jauh dari masyarakat. 

Bahkan bagi Ons Untoro, sastra seperti orang berteriak di padang gurun, dunia yang sepi, sebuah dunia yang ada di pinggiran.

Ana dan Eko baca puisi/Foto: Hermard
Ana dan Eko baca puisi/Foto: Hermard

Acara Obrolan Puisi Perang yang Damai karya Mustofa W Hasyim digagas oleh Komunitas Sastra Bulan Purnama dan Balai Bahasa Yogyakarta, dilaksanakan Jumat (8/12/2023) di Ruang Sutan Takdir Alisjahbana-BBY.

Menghadirkan pemantik obrolan dua penyair senior Yogyakarta: Mustofa W Hasyim dan Sutirman Eka Ardhana, dimeriahkan pembacaan puisi oleh Ana Ratri dan Eko Winardi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun