"Masih dagangannya, Mbak?"
"Masih Mas, mau berapa bungkus?"
"Apa isinya, Mbak?"
"Serabi ndeso, Mas!"
"Saya makan di sini saja Mbak!"
Saya langsung duduk di bangku kayu menghadap meja, membuka bungkusan serabi. Bayangan mengenai serabi yang saya kenali, seketika ambyar! Bentuk dan ukurannya lebih menyerupai apem, kecil padat dan tebal. Dalam satu bungkus ada setangkep dan di antara dua serabi itu ditaburi parutan kelapa muda. Rasanya gurih, tidak ada manisnya.
"Lha Mas-nya agak kesiangan, jadi ya tinggal ini, sudah agak dingin," ujar Sulami sambil memperhatikan saya secara seksama, "Mas-nya bukan orang sini ya dan menginap di hotel Santoso kan?" tanya perempuan penuh senyum itu menyelidik.
Tentu saja perempuan tiga anak itu hafal betul dengan orang-orang di sekitar eks stasiun Blora dan Jalan Rajawali  karena ia sudah berjualan di situ selama empat tahun.Â
Jam empat pagi sudah buka lapak  karena sebagian dagangannya akan diambil pedagang sayur dan pedagang sekitar rumah sakit Wira Husada dan Soetijono.
Dalam sehari ia bisa menghabiskan dua sampai empat kilogram tepung beras. Serabinya bisa laku sebanyak lima puluh sampai tujuh puluh lima bungkus dengan harga dua ribu per bungkus. Artinya rata-rata wanita asli Blora ini -berjualan dari jam empat sampai jam tujuh pagi- Â mengantongi penghasilan seratus ribu rupiah.
"Kadang juga tidak laku semua, tersisa sepuluh bungkus. Apalagi kalau tiba-tiba hujan. Saya pernah memasang terpal agar tidak kehujanan, tapi repot kalau  harus bongkar pasang terpal sendirian. Akhirnya kalau hujan ya saya berteduh di emperan toko," jelas Sulami, warga kampung Seso ini sambil tangannya menunjuk ke emperan toko di belakangnya.