Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Mengelola Kebudayaan: Bercermin dari Yogyakarta

7 November 2023   14:13 Diperbarui: 8 November 2023   09:36 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Festival Kebudayaan Yogyakarta/Foto: IG Disbud DIY

Tidak dapat dipungkiri jika perubahan nama sebuah instansi/institusi merupakan hal  wajar, tergantung pada visi dan misi serta peraturan/perundangan yang berlaku. 

Begitu juga saat perguruan tinggi beramai-ramai mengubah status dari IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) menjadi Universitas pada akhir tahun 1990. Terdapat kurang lebih sebelas perguruan tinggi yang berubah, dua di antaranya adalah IKIP Karangmalang (menjadi Universitas Negeri Yogyakarta) dan IKIP Sanata Dharma (Universitas Sanata Dharma). 

Perubahan itu merupakan momentum penting dalam  mewujudkan cita-cita menyetarakan kualitas  IKIP  dengan Universitas. Meskipun beberapa tahun kemudian kebijakan ini menuai kritik karena di beberapa daerah terjadi kekurangan guru berkualitas.

Saya juga mengalami pergantian nama Fakultas saat kuliah. Saat masuk semester pertama bernama Fakultas Sastra dan Kebudayaan, begitu akan keluar (lulus) berganti nama menjadi Fakultas Sastra (mulai Oktober 1982), dan menjadi Fakultas Ilmu Budaya UGM (sejak  Juni 2001). 

Fakultas satu ini memang sering berganti nama, mulai dari Faculteit Sastra, Filsafat, dan Keboedajaan (Maret 1946), Faculteit Sastra dan Filsafat (Desember 1949), sampai Faculteit Sastra, Pedagogik, dan Filsafat (berlaku hingga Oktober 1955). Mungkin perubahan dari Fakultas Sastra ke Fakultas Ilmu Budaya didasarkan pada pemikiran bahwa sastra merupakan bagian dari kebudayaan.

Saat Kompasiana mengedepankan topik pilihan Jika Kementerian Kebudayaan Berdiri Sendiri, maka yang terbayang dan ingin saya paparkan adalah contoh-contoh kecil yang terjadi di Yogyakarta. Artinya saya tidak  mengambil kerangka pembicaraan yang maha luas (kementerian), tetapi lebih pada apa yang terjadi di wilayah lokalitas -dapat dimaknai sebagai kearifan lokal- berkenaan dengan keberadaan instansi pemerintah yang ada di Yogyakarta.

Ketika Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta dipisahkan dari Dinas Pariwisata DIY (semula bernama Dinas Kebudayaan dan Pariwisata DIY) , hal ini berkaitan dengan strategi memantapkan Yogyakarta sebagai daerah "istimewa" sekaligus memaksimalkan dana yang diperoleh dari pusat.

Dalam laman Dinas Kebudayaan DIY dijelaskan bahwa  jauh sebelum terbentuknya Disbudpar DIY, urusan kebudayaan pada awalnya (juga) menjadi wewenang Dinas Pendidikan dan Kebudayaan DIY. 

Melalui Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 353/KPTS/1994 tanggal 26 Oktober 1994 tentang Pembentukan Dinas Kebudayaan Provinsi DIY, maka urusan kebudayaan menjadi dinas tersendiri, yaitu Dinas Kebudayaan DIY, di  samping ada Dinas Pendidikan dan Pengajaran. Pada 26 November 1997 dilakukan peresmian Dinas Kebudayaan DIY.

Empat tahun kemudian, sesuai dengan kebijakan pemerintah mengenai otonomi daerah, penyerahan kewenangan, dan urusan, pada tahun 2001 Dinas Kebudayaan DIY bergabung dengan Dinas Pariwisata DIY, Kanwil Pariwisata DIY, Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan DIY (Bidang Sejarah danNilai tradisi dan Bidang Museum dan Purbakala) menjadi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata DIY. Tugasnya membantu melaksanakan urusan pemerintahan dan keistimewaan di bidang kebudayaan, merumuskan kebijakan teknis bidang kebudayaan, pemeliharaan dan pengembangan cagar budaya penanda keistimewaan Yogyakarta.

Lebih dari sepuluh tahun kemudian, muncul pertimbangan  dari Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X, untuk memisahkan kembali Dinas Kebudayaan, baik di    pemerintah kabupaten maupun kota Yogyakarta, sehingga struktur organisasi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata menjadi dua instansi. Pemisahan  ini untuk mengoptimalkan serapan Dana Keistimewaan (Danais) yang diberikan pemerintah pusat sejak 2013.

"Tidak mungkin Danais bisa tercapai kalau pemerintah kabupaten maupun kota tidak melakukan perubahan organisasi pemerintahan di daerah," kata Sultan (dikutip dari Kompas.com) usai menghadiri syawalan bersama jajaran pejabat Pemkab Bantul (19/8/2014).

Menurut Sultan, perubahan struktur organisasi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang terkait langsung Danais tersebut memang harus diupayakan, mengingat serapan Danais masih rendah, contohnya di Bantul dari dana 12,5 miliar rupiah baru terserap sekitar  2 miliar.

Raja Ngayogyakarta Hadiningrat selanjutnya berharap pada tahun 2015 sudah ada kelembagaan, sehingga  pada tahun 2016  pemisahan tersebut dapat terealisasi.

Jika dikaji lebih jauh, memang urusan antara bidang pariwisata dan kebudayaan memiliki kepentingan   berbeda-beda. Dinas Pariwisata lebih berorientasi  mendatangkan wisatawan sebanyak mungkin, sedangkan Dinas Kebudayaan bertujuan  memunculkan roh budaya di masyarakat. 

Meskipun begitu, keduanya dapat bersinergi dalam melaksanakan event yang menguntungkan kedua belah pihak. Hal ini tercermin dalam agenda kegiatan tahunan Dinas Pariwisata dengan mengedepankan kearifan budaya lokal yang diformulasikan oleh Dinas Kebudayaan DIY.

Festival Kebudayaan Yogyakarta/Foto: IG Disbud DIY
Festival Kebudayaan Yogyakarta/Foto: IG Disbud DIY

Peraturan Walikota Yogyakarta No. 113 Tahun 2020 Tentang Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas, Fungsi, dan Tata Kerja Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan); dan Peraturan Walikota Yogyakarta No. 133 Tahun 2020 Tentang Pembentukan Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas, Fungsi, dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Pada Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan), merupakan landasan kemandirian Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Kota Yogyakarta dengan  tugas melaksanakan urusan pemerintah daerah berdasarkan asas otonomi dan tugas  di bidang kebudayaan. 

Dinas tersebut mempunyai fungsi merumusan kebijakan teknis urusan kebudayaan, menyelenggarakan urusan pemerintah dan pelayanan umum di bidang kebudayaan, melaksanaan koordinasi penyelenggaraan urusan di bidang kebudayaan, mengelola kesekretariatan meliputi perencanaan, umum, kepegawaian, keuangan, evaluasi, pelaporan; dan melaksanaan pengawasan, pengendalian evaluasi dan pelaporan di bidang kebudayaan.

Berbagai fungsi tersebut tercermin dalam kegiatan pemeliharaan dan pengembangan adat dan tradisi, bahasa dan sastra, media rekam, kesenian, pernuseuman, sejarah dan kepurbakalaan, dan rekayasa budaya, serta pelaksanaan fasittasi pengembangan industri kreatif dari sektor kebudayaan.

Berbagai kegiatan tersebut dilaksanakan dengan visi peningkatan kemuliaan martabat masyarakat Yogyakarta dan misi meningkatkan kualitas hidup, kehidupan penghidupan masyarakat yang berkeadaban.

Menjaga Kekayaan Budaya/Foto: Hermard
Menjaga Kekayaan Budaya/Foto: Hermard
Penguatan terhadap Dinas Kebudayaan DIY, ternyata berhasil melestarikan, membina, mengembangkan,  dan menghidupkan tradisi dan budaya (termasuk di dalamnya sastra Jawa dan Indonesia)  masyarakat Yogyakarta dengan gegap gempita. Beberapa kegiatan tersebut antara lain Festival Kethoprak Kabupaten/Kota, Temu Karya Satra "Daulat Sastra Jogja", Festival Grebek Bambu, Festival Kesenian Yogyakarta, Jogja Museum Expo, Gelar Potensi Kelurahan Budaya, dan Festival Kebudayaan Yogyakarta.

Daulat Sastra Jogja/Foto: Hermard
Daulat Sastra Jogja/Foto: Hermard
Bercermin dari pengelolaan kebudayaan di Yogyakarta, sudah selayaknya jika Kementerian Kebudayaan Terpisah dari Kementerian Pendidikan agar peristiwa berbagai tradisi/budaya (di) Nusantara dapat berkembang dan hidup dengan lebih baik lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun