sejarah perkembangan kota Yogyakarta (Marchelia Gupita Sari) karena dulunya merupakan salah satu dari persebaran pemukiman kolonial, di samping Bintaran dan Kotabaru.Â
Kawasan Jetis memegang peran penting dalamSelain itu, Jalan AM Sangaji merupakan bagian dari poros sumbu imajiner Yogyakarta yang menghubungkan  Tugu Pal Putih dengan Gunung Merapi.
Tidak dapat dipungkiri, kawasan Jalan AM Sangaji merupakan wilayah  bersejarah (Nidyo Cahyo Kresnanto) terkait peraturan Wijkenstelsel, dibuat pemerintah  kolonial Belanda pada  awal abad ke- 19. Peraturan ini membagi wilayah pemukiman dalam tata ruang kota Yogya dengan kewajiban pribumi dan pendatang  membuat perkampungan sendiri.
Dari catatan sejarah, warga Belanda mendiami Kampung Eropa di daerah Kota Baru. Warga Tionghoa ditempatkan di Jalan AM Sangaji. Meskipun begitu, orang Belanda pun tetap mendiami wilayah seputar AM Sangaji.Â
Karena itu wilayah ini dibangun dengan fasilitas cukup memadai: tempat ibadah (gereja Gereja Katholik St. Albertus Magnus, klenteng Kwan Tee Kiong Poncowinatan), fasilitas pendidikan: tahun 1919 didirikan Princess Juliana School (PJS)-sekarang SMKN 2;  tahun 1897  lahir Kweekschool-sekolah guru  Belanda (SMAN 11); Hollandsche Indlandsche School (HIS)-SMPN 6, dibangun sekitar tahun 1915 - pada masa Jepang digunakan sebagai gedung Sekolah Rakyat (SR) dan pada masa Agresi Militer Belanda  (1949) digunakan sebagai markas tentara Belanda.
Ada lagi Hoogdrink Water Leiding Bedrijf (perusahaan air minum, 1930). Sedangkan  Kodim 0734, dahulu digunakan sebagai gedung Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers (sekolah guru pribumi), kemudian  Departemen van Onderwijs an Kredienst.
Kawasan Cemorojajar yang berdekatan dengan Jetis, dibangun menyerupai nieuwe Europeesche villa park berupa deretan bangunan  bergaya arsitektur kolonial, terdapat  pohon-pohon rindang (cemara), taman,  jalan lingkungan cukup lebar. Bangunan-bangunan itu merupakan tempat tinggal  pegawai pemerintahan kolonial, anggota militer, atau guru-guru dari kalangan masyarakat Eropa maupun bangsawan pribumi.
Di dalam kampung Jetisharjo, sampai sekarang masih dapat dilihat jejak bangunan bergaya arsitektur Indis. Bisa diperhatikan beberapa bangunan di belakang susteran Carolus Borromeus dengan pintu dan jendela berukuran lebar. Tempat kost tertua, Wisma Lucia, dengan rumah induk bernuansa  kolonial, sampai hari ini masih berdiri di tengah perkampungan yang padat.
Keberadaan warga Tionghoa berada di sisi selatan, tepatnya daerah Jalan Pakuningratan, Kranggan, dan Poncowinatan.  Kehadiran pasar Kranggan tidak dapat dilepaskan dari keberadaan orang Tionghoa  dari tiga wilayah tersebut, sehingga menjadi salah satu pusat ekonomi di Yogya pada awal abad ke-19.Â
Saya masih ingat pada tahun 1970-an, di perempatan Jetis, ada toko kelontong-Toko Jetis-yang dikelola keluarga Tionghoa. Toko tersebut laris manis berjualan keperluan sehari-hari, roti, alat tulis, dan lainnya, Â hingga akhirnya setelah puluhan tahun terpaksa tutup karena masalah kepemilikan lahan. Saat ini lahan bekas toko tersebut dijadikan tempat parkir mobil masyarakat sekitar.
Di pintu masuk Jalan Poncowinatan, sisi utara, dulu ada restoran kecil yang dikelola oleh perempuang Tionghoa. Setiap jam makan malam, restoran itu selalu ramai dengan menu capcai, puyunghai, bakmoi, dan mie goreng. Â Sayangnya restoran itu sudah tutup pada tahun 1980-an, berganti berjualan gula, beras, minyak goreng, dan tepung terigu.