Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pasar dan Transformasi Budaya

20 September 2023   12:32 Diperbarui: 24 September 2023   17:17 832
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


 

Mbesuk yen ana kereta mlaku tanpa jaran, tanah Jawa kalungan wesi, prahu mlaku ing duwur awang-awang, kali ilang kedunge pasar ilang kumandange. Iku tanda yen tekane jaman Jayabaya wis cedak- besok kalau sudah ada kereta berjalan tanpa kuda, tanah Jawa berkalung besi - adanya kereta api, perahu berjalan di atas angkasa -- terciptanya pesawat terbang, sungai kehilangan sumber mata air, termasuk pasar menjadi sepi; ini berarti mendekati akhir zaman.

Ungkapan tersebut termuat dalam Jangka Jayabaya, dipercaya ditulis oleh raja Kediri, Jayabaya. Jangka Jayabaya konon pernah digubah oleh Sunan Giri pada tahun 1618.

Isu mengenai sepinya pasar Tanah Abang, ada yang mengaitkannya dengan maraknya jual beli online, sehingga berdampak pada tutupnya beberapa kios di pasar yang biasanya dipadati pembeli, bahkan dulu menjadi biang kemacetan.

Kenyataannya, kemajuan teknologi menjadikan banyak transaksi barang tidak dilakukan di pasar. Toko-toko mulai tutup karena bisnis saat ini dilakukan dengan digital marketing (online). 

Pembeli dan penjual tidak harus bertemu tatap muka karena barang bisa dikirim dan transaksi cukup dilakukan lewat gawai (handphone). Kemudahan cara bertransaksi, ditambah dengan murahnya harga barang-barang yang dijual secara online, membuat nasib para pedagang Pasar Tanah Abang menjadi kolaps.

Situasi ini menjadi menarik saat dikorelasikan dengan cerita imajiner cerkak (cerpen) "Pasar Bubrah" karya Wage Daksinarga, karena lewat pasar, pembaca dihadapkan kepada persoalan besar bangsa Indonesia terkait dengan perbenturan nilai-nilai lama (tradisi) dan nilai-nilai baru (modernisasi). 

Tentu saja ini bukan merupakan gagasan baru yang dihadirkan dalam karya sastra (Indonesia maupun Jawa). Perdebatan mengenai pertentangan tradisi dan modernisasi telah hadir sejak tahun 1930-an dan sampai saat ini masih relevan untuk terus "digali" dan diperbincangkan. 

Pertanyaan yang mengemuka adalah: apakah kita bisa menentukan dengan tegas salah satu di antara tradisi atau modernisasi sebagai sebuah pilihan yang bijaksana dan layak dipertahankan?

Manuel Kaisiepo lewat tulisan "Potret Diri" (rubrik Topik Kita majalah Prisma) puluhan tahun silam menyatakan bahwa dalam praktik kehidupan sehari-hari, keduanya- tradisi dan modernisasi-tetap dan masih menjadi dilema. 

Dilema yang senantiasa hadir bersama sikap masyarakat kita yang juga senantiasa "mendua" (ambivalen)---di satu pihak berusaha mengonversi "nilai-nilai lama" ke dalam suatu wilayah "cagar budaya" yang aman, namun dalam sikap yang cenderung reaktif; tetapi di sisi lain menerima kehadiran "nilai-nilai baru" dengan segala dampak dan eksesnya. 

Kegelisahan yang hampir sama dirasakan Sartono Kartodirdjo (Elite dalam Perspektif Sejarah), dalam suatu masyarakat selalu terdapat antagonisme antara kekuatan sosial yang berusaha mempertahankan diri dan lebih berorientasi ke masa lampau sebagai zaman gemilang (bersifat konservatif) dengan kekuatan sosial yang lebih berorientasi ke masa depan---mendorong terjadinya perubahan sehingga lebih bersifat progresif.

Melalui "Pasar Bubrah" , Wage berupaya menggambarkan situasi masyarakat Indonesia yang berada dalam posisi peralihan atau pembaharuan. Di pasar tradisional yang semula terasa adem ayem, berfungsi sebagai tempat jual beli, tawar-menawar, gegojegan, misuh, tempat srawung (pertemuan akrab) bagi siapa pun (termasuk orang kurang waras), akhirnya terganggu dengan hadirnya orang asing (lelaki tinggi besar-modernisasi). 

Orang-orang pasar: Yu Darmi, Bu Harni, Mandor Pasar, Yu Wastiyah, Mbok To Kasemo, dan Juman tidak terusik dengan nasib yang menimpa Sulasmi---digosipkan mempunyai sejumlah utang, kehidupan rumah tangganya kurang harmonis, dan ia tiba-tiba menghilang dari pasar. 

Di sisi lain, Sulasmi tidak peduli dengan pembicaraan yang beredar luas di pasar atas peristiwa yang menimpa dirinya. Sikap yang ditunjukkan oleh orang-orang pasar terhadap Sulasmi, maupun sikap Sulasmi terhadap gosip mengenai dirinya, semua mencerminkan dunia tradisi yang mengutamakan kebersamaan dan ketenangan. 

Artinya, dunia pasar tradisional yang dihadirkan Wage adalah sebuah dunia penuh dengan rasa kemanusiaan, dunia "kompromi" atas berbagai persoalan yang dialami tokoh-tokoh cerita, dunia kebersamaan dalam "tegur sapa" saling menghargai, bukan saling mencurigai dan menyudutkan.

Situasi harmonis masyarakat tradisi sejak awal cerita langsung dibingkai dengan nilai-nilai baru (kehadiran pasar modern) sebagai sesuatu yang mekanis, individualis, dan tidak manusiawi. 

Wage melalui tokoh-tokoh ceritanya menyadari terjadinya transformasi kebudayaan dari masyarakat tradisi menuju masyarakat modern. Lebih dari itu, Wage sampai kepada tahap "makrifat" dengan halus memprediksi bahwa dalam transformasi budaya nilai-nilai tradisi terpinggirkan dan bahkan mengalami "kekalahan". 

Gagasan mengenai kekalahan nilai-nilai tradisi dalam transformasi budaya jauh sebelumnya telah dilontarkan Umar Kayam dalam pidato pengukuhan jabatan guru besar pada Fakultas Sastra UGM bahwa cepat atau lambat, serat-serat budaya yang menyangga anyaman teguh suatu kebudayaan masyarakat (tradisi) pada suatu saat meruyak dan membusuk untuk kemudian tidak dapat berfungsi lagi sebagai pengikat kesatuan kebudayaan.

Dalam konteks inilah seharusnya kita menyadari mengapa Wage lebih memilih judul "Pasar Bubrah" dan bukan "Pasar Randu Kuning" yang menjadi latar dominan tempat tokoh cerita digerakkan (melakukan action), meskipun di sisi lain "nostalgia" terhadap kejayaan masa lalu tidak dapat dihapuskan begitu saja.

Harmonisasi pasar tradisional/Foto: Hermard
Harmonisasi pasar tradisional/Foto: Hermard
Kegalauan terhadap transformasi budaya dapat dirasakan dalam ending yang melahirkan ambiguitas.

Sulasmi nangis nguguk, nabrak bojone terus dirangkul kenceng banget.
Mbah Ta Kasema malah ura-ura sajak ora duwe dosa-
Sulasmi menangis tersedu, merangkul kencang suaminya. Mbah Ta Kasema bersenandung, merasa tak bersalah.

Mbesuk yen wis ana kereta tanpa jaran
Prahu mlaku ing duwure awang-awang
Tanah Jawa kalungan wesi
Kali ilang kedunge
Pasar ilang kumandange
Iku tandha yen jaman Jaya Baya wis cedhak...."

Begitulah cara Wage mempresentasikan transformasi budaya lewat karya sastra (Pasar Bubrah) dengan teknik bercerita yang apik (mumpuni).

Akhirnya, apakah kita akan kehilangan pasar tradisional (termasuk Pasar Tanah Abang) dengan transaksi yang menghargai harmonisasi, dunia tawar-menawar yang tak berkesudahan? Atau pedagang Tanah Abang perlu belajar jualan online, menggunakan jasa artis/selegram atau influencer untuk mempromosikan dagangan mereka? 

Sekarang para pedagang Tanah Abang hanya geleng-geleng kepala, mereka tak habis pikir, mengapa harga kaos/baju di online menjadi begitu murah dan tak masuk akal?

Entahlah, kita tunggu saja aksi Mas Menteri
Teten Masduki, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Indonesia...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun