Dalam sistem sosial Jawa, konsep nilai aja dumeh sering dimanfaatkan untuk menyindir keadaan seseorang atau kelompok sosial tertentu yang memperoleh kekayaan atau kekuasaan sehingga mereka memanfaatkan kekayaan atau kekuasaan itu secara otoriter (adigang-adigung).
Situasi semacam ini umumnya dialami oleh kelompok OKB (orang kaya baru) dengan menampakkan fenomena neofeodalisme: mengutamakan "kekuasaan" daripada kemampuan dan mementingkan kekayaan daripada kebijaksanaan.Â
Gejala neofeodalism tampak dalam eksistensi tokoh Kenthus. Sikap Kenthus saat menyuruh istrinya, Dawet, menyediakan secangkir kopi dan Gudang Garam, mengisyaratkan makna hidup mewah seperti yang diimpikan Kenthus.Â
Juga saat Kenthus menyaksikan banyaknya orang yang datang ke rumahnya untuk menyetor buntut tikus: dalam penglihatan Kenthus, mereka tidak lebih dari liliput yang berdesakan seperti bebek menunggu gabah.Â
Tokoh cerita Kenthus diciptakan Ahmad Tohari untuk mewakili gambaran manusia neo-feodal-- Kenthus adalah lambang manusia yang menjadi kaya dan berkuasa tanpa memiliki karisma sebagai seorang hartawan. Gambaran watak atau sikapnya yang diidentikkan dengan tokoh Dursasana lebih mempertegas makna simbolisasi yang dimaksud. Tokoh Dursasana dalam cerita wayang mewakili keluarga besar Kurawa, melambangkan tiga kekuatan: kekacauan, nafsu, dan keinginan.
Pemerolehan wahyu cakraningrat (sebagai pelaksana proyek pengadaan buntut tikus) dan mimpi nunggang macan (tanda akan memperoleh "kekuasaan") merupakan dua faktor yang menyebabkan tokoh Kenthus eksis sebagai subjek dan tokoh-tokoh lain hanya berfungsi sebagai objek, yaitu liliput-liliput yang tak berharga.Â
Dalam kaitannya dengan sistem semiotik, ungkapan "liliput " dalam cerpen "Kenthus" mengacu kepada makna wong cilik, yakni manusia-manusia yang dalam pandangan Kenthus berada di bawah "kekuasaan"-nya -manusia-manusia yang selalu membutuhkan kehadirannya. Â
Penyebutan "liliput" bagi orang lain ini merupakan bentuk kesombongan tokoh Kenthus sebagai orang kaya baru, hal ini dapat dikaitkan dengan masa lalunya yang hanya berperan sebagai penggembala kerbau dan pencari kayu bakar.
Cerpen-cerpen Ahmad Tohari dalam antologi Senyum Karyamin memiliki ciri spesifik dengan mengedepankan tokoh-tokoh wong cilik sebagai pemegang pemeran utama. Menurut beberapa pemerhati sastra, hal ini terkait erat dengan latar dunia pedesaan yang lugu, kumuh, telanjang, dan alami, yang ternyata masih tetap menjanjikan kedamaian yang tulus tanpa pamrih.Â
Kehadiran tokoh-tokoh marginal dalam Senyum Karyamin seakan mewakili teriakan rakyat kecil yang bodoh, "terpenjara", dan melarat. Dalam kesederhanaan penampilan latar dan tokoh-tokoh cerita yang bekerja sebagai pencari batu kali, pencari kayu bakar, pengemis, tukang adu ayam, dsb; Ahmad Tohari justru memperlihatkan kemonceran (keunggulan)-nya dalam menciptakan karya sastra.Â
Hal ini terjadi karena lewat konflik-konfik dalam lingkaran kehidupan wong cilik, Tohari mampu mewujudkan lambang atau simbol berbagai masalah yang rumit dan sangat berharga untuk dihayati.