Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sastra sebagai Media Komunikasi Sosial Budaya

16 September 2023   17:58 Diperbarui: 17 September 2023   03:16 917
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warna lokal sastra/Foto: Hermard

Fenomena  menarik dalam perkembangan karya sastra Indonesia ditandai dengan munculnya beberapa karya sastra yang mengedepankan subkultur berbagai budaya daerah sebagai elemen pembentuk cerita. 

Novel Siti Nurbaya (1922) dan Azab dan Sengsara (1921) berupaya menampilkan subkultur Minangkabau, novel Orang Buangan (Harijadi S. Hartowardoyo, 1971) dan novelet Sri Sumarah dan Bawuk (Umar Kayam, 1975) memperkenalkan budaya Jawa, Pulau (Aspar, 1976) menampilkan subkultur Bugis  (Makasar), Upacara (Korie Layun Rampan, 1978) menampilkan latar subkultur masyarakat Kalimantan, dan Bila Malam Bertambah Malam (Putu Wijaya, 1971) mengedepankan subkultur Bali. 

Kemudian pada tahun 1983 Mangunwijaya mengangkat subkultur Ternate lewat novel Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa. Upaya pengedepanan berbagai subkultur tersebut  membuktikan bahwa karya sastra mampu menunjukkan fungsi khasnya, merefleksikan kehidupan sosial budaya dan mencerminkan pengaruh timbal balik  faktor sosial dan kultural masyarakat dari wilayah tertentu. 

Hal ini mengisyaratkan  pentingnya mempertimbangkan eksistensi sastra sebagai medium komunikasi budaya; di samping karya sastra harus dipelajari dalam konteks yang seluas luasnya. Sebab karya  sastra merupakan hasil pengaruh timbal balik yang rumit dari faktor faktor sosial dan kultural, sastra memaparkan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri merupakan kenyataan sosial. 

Sistem nilai, adat kebiasaan, dan intuisi  intuisi yang hidup dalam masyarakat dihayati oleh sastrawan dan diendapkan dalam dirinya untuk kemudian diungkapkan kembali lewat karya sastra dengan spesifikasi estetik imajinatif. 

Kuntowijoyo melontarkan gagasan bahwa karya sastra sebagai simbol verbal mengakibatkan sastrawan dalam mewujudkan karyanya mempunyai tiga peranan: menanggapi realitas (mode of comprehension), berkomunikasi dengan realitas (mode of comunication), dan menciptakan kembali realitas (mode of creation). 

Dengan adanya tiga peranan tersebut, pengarang dalam mewujudkan karya sastra dipengaruhi oleh lingkungan dan interes pribadinya. Interes tersebut merupakan bagian dari suatu elemen dalam struktur masyarakat yang lebih luas. 

Sastra bukan sekadar permainan imajinasi yang pribadi sifatnya; sastra merupakan rekaman atas tata cara zamannya-suatu perwujudan macam pikiran tertentu.  Grabstein, pengamat sastra, berpendapat bahwa karya sastra tidak akan dapat dipahami secara lengkap apabila dipisahkan dari lingkungan kebudayaan yang menghasilkannya.

Hal menarik dalam perkembangan prosa Indonesia pada tahun 1980-an ditandai dengan terbitnya beberapa karya sastra yang berusaha mengangkat latar Jawa lewat fakta sastra sebagai elemen pembentuk cerita. Beberapa contoh misalnya Rara Mendut (Mangunwijaya), Para Priyayi (Umar Kayam), Pasar (Kuntowijoyo), Pengakuan Pariyem (Linus Suryadi Ag), dan Rongheng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari).

Latar Jawa yang muncul dalam karya sastra Indonesia tersebut mempunyai daya tarik tersendiri,  mengacu kepada cara hidup, kebiasaan kebiasaan, cara berpikir, dan sistem nilai yang terdapat dalam masyarakat Jawa-memberikan warna berbeda jika ditulis oleh pengarang dari suku bangsa lain.

Jadi, latar lokal menunjuk pada latar sosial yang khas dari daerah tertentu, latar geografis dari masyarakat tertentu; meliputi adat istiadat, lingkungan hidup, dan sistem kehidupan subkultur tertentu. 

Pengertian warna lokal mencakup penggunaan dialek dari bahasa tertentu yang dipakai dalam karya sastra. Artinya, hakikat warna lokal merupakan realitas sosial budaya suatu daerah yang ditunjuk secara tidak langsung oleh fiksionalitas suatu karya. Secara intrinsik,  warna lokal selalu dihubungkan dengan unsur latar, penokohan, gaya bahasa, dan suasana. 

Budi Darma menggariskan bahwa kecenderungan untuk menghayati subkultur etnik seperti yang diperjuangkan oleh Umar Kayam, Linus Suryadi, Ahmad Tohari, dan sebagainya, merupakan suatu usaha  memperkokoh identitas keindonesiaan, usaha  menghayati salah satu tradisi, berpartisipasi dalam mewujudkan konsep (ke-)budaya(-an) Indonesia.

Wajar saja jika  ada pemerhati sastra menyatakan telah terjadi renaisans Jawa dalam Sastra Indonesia dengan kecenderungan  "bergeraknya" episentrum sastra Indonesia dari  Sumatera ke Jawa. 

Teeuw dalam wawancaranya dengan majalah Horison  memberi penegasan telah terjadinya Jawanisasi kesusastraan Indonesia. 

Karya karya sastra Indonesia tahun 1980-an memiliki kecenderungan mengindentifikasikan tokoh secara rasional dengan latar cerita (baca: budaya Jawa); mengacu kepada situasi sastra sebagai media komunikasi budaya. 

Spesifikasi pengedepanan latar Jawa tersebut terletak dalam jalinan antara latar sosial budaya yang tidak mungkin dapat dilepaskan hubungannya dengan faktor geografis. 

Ashadi Siregar menegaskan bahwa untuk menjadikan novel sebagai medium komunikasi budaya dapat ditempuh dengan menjadikan figur yang terindentifikasi secara rasional dengan latar belakang budaya etnis tertentu. 

Di sini elemen fakta cerita yang berupa latar dan penokohan sama-sama memegang peranan penting. Dengan demikian, sebuah cerita yang mengaangkat latar masyarakat tertentu, di suatu tempat dan pada suatu masa, harus mampu memberikan suatu pengetahuan khusus tentang masyarakat yang bersangkutan lengkap dengan masalah-masalah, perwatakan, sikap hidup, dan sebagainya.

Prosa lirik Pengakuan Pariyem (Linus Suryadi Ag, 1984), misalnya, mengungkapkan latar lokal Jawa dengan menampilkan Pariyem sebagai profil wanita Jawa tradisional: Pariyem dalam keseluruhan cerita menunjukkan sikap pasrah, lega lila, nrima dan senantiasa menyadari kedudukannya sebagai wong cilik.

Di dalam masyarakat Jawa, orang sebagai individu tidak menjadi penting: bersama sama mereka mewujudkan masyarakat dan keselarasan masyarakat menjamin kehidupan yang baik bagi individu-individu. Pariyem menyadari bahwa penguasa atau priyayi mempunyai wewenang, tanggung jawab, dan kewajiban kewajiban yang berbeda dengan wong cilik. Ia tidak menyesali perbuatan priyayi yang menurut orang lain melukai harkat dan martabatnya sebagai wanita.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun