Pengertian warna lokal mencakup penggunaan dialek dari bahasa tertentu yang dipakai dalam karya sastra. Artinya, hakikat warna lokal merupakan realitas sosial budaya suatu daerah yang ditunjuk secara tidak langsung oleh fiksionalitas suatu karya. Secara intrinsik, Â warna lokal selalu dihubungkan dengan unsur latar, penokohan, gaya bahasa, dan suasana.Â
Budi Darma menggariskan bahwa kecenderungan untuk menghayati subkultur etnik seperti yang diperjuangkan oleh Umar Kayam, Linus Suryadi, Ahmad Tohari, dan sebagainya, merupakan suatu usaha  memperkokoh identitas keindonesiaan, usaha  menghayati salah satu tradisi, berpartisipasi dalam mewujudkan konsep (ke-)budaya(-an) Indonesia.
Wajar saja jika  ada pemerhati sastra menyatakan telah terjadi renaisans Jawa dalam Sastra Indonesia dengan kecenderungan  "bergeraknya" episentrum sastra Indonesia dari  Sumatera ke Jawa.Â
Teeuw dalam wawancaranya dengan majalah Horison memberi penegasan telah terjadinya Jawanisasi kesusastraan Indonesia.Â
Karya karya sastra Indonesia tahun 1980-an memiliki kecenderungan mengindentifikasikan tokoh secara rasional dengan latar cerita (baca: budaya Jawa); mengacu kepada situasi sastra sebagai media komunikasi budaya.Â
Spesifikasi pengedepanan latar Jawa tersebut terletak dalam jalinan antara latar sosial budaya yang tidak mungkin dapat dilepaskan hubungannya dengan faktor geografis.Â
Ashadi Siregar menegaskan bahwa untuk menjadikan novel sebagai medium komunikasi budaya dapat ditempuh dengan menjadikan figur yang terindentifikasi secara rasional dengan latar belakang budaya etnis tertentu.Â
Di sini elemen fakta cerita yang berupa latar dan penokohan sama-sama memegang peranan penting. Dengan demikian, sebuah cerita yang mengaangkat latar masyarakat tertentu, di suatu tempat dan pada suatu masa, harus mampu memberikan suatu pengetahuan khusus tentang masyarakat yang bersangkutan lengkap dengan masalah-masalah, perwatakan, sikap hidup, dan sebagainya.
Prosa lirik Pengakuan Pariyem (Linus Suryadi Ag, 1984), misalnya, mengungkapkan latar lokal Jawa dengan menampilkan Pariyem sebagai profil wanita Jawa tradisional: Pariyem dalam keseluruhan cerita menunjukkan sikap pasrah, lega lila, nrima dan senantiasa menyadari kedudukannya sebagai wong cilik.
Di dalam masyarakat Jawa, orang sebagai individu tidak menjadi penting: bersama sama mereka mewujudkan masyarakat dan keselarasan masyarakat menjamin kehidupan yang baik bagi individu-individu. Pariyem menyadari bahwa penguasa atau priyayi mempunyai wewenang, tanggung jawab, dan kewajiban kewajiban yang berbeda dengan wong cilik. Ia tidak menyesali perbuatan priyayi yang menurut orang lain melukai harkat dan martabatnya sebagai wanita.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H