"Benar, Mas. Saat itu  puisi dihargai. Setiap puisi yang dimuat media, pasti mendapat bayaran. Sekarang media koran banyak yang bertumbangan dan puisi tidak mendapat penghargaan yang semestinya," timpal Syam.
Obrolan terus mengembara sampai ke sosok Genthong HS seniman teater.
"Beberapa waktu yang lalu Mas Genthong hadir di sini, acara diskusi peluncuran buku. Ia memprotes salah satu judul puisi. Ia begitu serius membuka pembicaraan. Membuat saya deg-degan. E, ternyata ia hanya berkelakar ala seniman celelekan, seharusnya bukan itu judulnya, tapi tanpa tak. Jadi judulnya Awalnya Bir... semua yang hadir spontan tertawa," papar Joni.
Cerita paling parah dikisahkan Wicahyanti saat ia masih menjadi guru. Ketika di sekolah, ia ditelepon Mas Bambang (nama disamarkan), sastrawan, yang berkunjung ke Magelang.Â
Lewat telepon ia meminta waktu untuk ketemu. Ada hal mahapenting yang ingin dibahas. Setelah bertemu, Bambang mengeluarkan buku puisi dan mempersoalkan penyairnya mengapa menulis Alloh dan bukan Allah?
"Tiwas saya melonggarkan waktu, ternyata masalahnya remeh-temeh. Mau nulis Alloh atau Allah itu kan terserah penyairnya. Itu bukan persoalan mahapenting. Itu hanya persoalan licentia poetica, kebebasan penyair."
Kami semua tersenyum kecut, membayangkan pertemuan Mbak Wicah dengan Mas Bambang, sastrawan yang maha aneh itu... Sastrawan yang juga njelomprongkake Toto Sugiharto yang bermimpi bisa tidur nyenyak di hotel mewah Artos atau Atria, ternyata harus menelan pil pahit, tidur malam di lembah Tidar yang dingin ditemani puluhan monyet liar...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H