Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Obrolan di Teras Sekolah Kebon Joni Ariadinata

5 September 2023   13:34 Diperbarui: 5 September 2023   19:48 531
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sabtu siang (2/9/23) beberapa teman praktisi sastra berkumpul di kediaman Mas Joni. Selain Dedet Setiadi (penyair), Krishna Mihardja (sastrawan Jawa), tampak Wicahyanti Rejeki (penggerak literasi), Syam Chandra Manthiek (penyair), Toto Sugiharto (novelis), dan Ons Untoro (penggerak Komunitas Sastra Bulan Purnama). 

Saya turut hadir karena dua hari sebelumnya mendapat pesan WhatsApp dari Mbak Wicah yang mengajak ngobrol santai di rumah Abah Joni.
Selain meja dan bangku panjang, dinding kayu teras dihiasi lukisan "Padang Bulan" karya Fauzi Absal. Di bawahnya terdapat bingkai bertuliskan Sekolah Kebon.

"Mana yang namanya pohon hujan, Mas? Saya sangat penasaran dengan pohon yang baik hati itu," tanya Krishna Mihardja.

"Itu, Mas, pohon besar di sana," jelas Mas Joni, pria kelahiran Majalengka 1966, sambil menunjuk pohon Munggur besar, berada tepat di belakang rumah utama.

Joni sendiri heran ketika mengetahui  pohon itu mengeluarkan air berlimpah, memenuhi keperluan air untuk kolam-kolam ikan nila dan keperluan air di rumah. 

Pohon hujan/Foto: Hermard
Pohon hujan/Foto: Hermard
Kami melihat ada drum plastik biru disandarkan di atas pohon guna menampung air dan disalurkan lewat pipa pralon.

Setelah makan siang yang mengenyangkan dengan sajian pepes ikan nila, bebek goreng, tahu tempe, lalapan, kami larut dalam obrolan dari zaman Orde Baru, keunikan sastrawan Yogyakarta, sampai buku Pramoedya Ananta Toer. 

Antara bebek dan pepes nila/Foto: Hermard
Antara bebek dan pepes nila/Foto: Hermard
Gara-gara buku Pram yang dicurigai pemerintah, beberapa sastrawan Yogyakarta berurusan dengan aparat.

"Edan ora, mung gara-gara buku nganti diinterogasi, nginep neng Wirogunan, ora sida  mangkat Filipina. Aku nganti apal cara-cara mereka melakukan interogasi. (Gila, cuma gara-gara buku, diinterogasi, masuk Wirogunan, tidak jadi berangkat ke Filippna. Sampai hafal cara-cara mereka menginterogasi," tutur Ons Untoro.

Ia batal ke Filipina karena teman yang mengajaknya keburu diciduk aparat. Ons terkejut sebab mereka janjian jam delapan pagi berangkat ke bandara, ternyata jam tujuh lebih temannya, penggagas acara diskusi buku Pram, sudah diamankan aparat.

"Tapi zaman Orde Baru tetap ada enaknya kan?" tanya Ons kepada Syam Candra, penyair.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun