Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sastra Yogyakarta dan Jalan Puisi

11 Agustus 2023   16:52 Diperbarui: 15 Agustus 2023   03:00 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menikmati Jalan Puisi/Foto: Hermard

"Para penyair lainnya memiliki aktivitas berbeda-beda. Mustofa, Eka Ardhana, Wadie, menekuni profesi sebagai wartawan, tetapi menulis puisi masih terus ditekuni. Simon HT, sebagai aktivis LSM, mempunyai aktivitas pengembangan masyarakat, namun cintanya pada puisi tidak habis. Puisinya terus mengalir. Begitu juga Krishna Mihardja, setelah  pensiun dari guru matematika, puisi setia dipeluknya," papar Ons, seperti yang dituliskannya dalam kata pengantar antologi Jalan Puisi.

Itulah penyair, selalu menulis puisi. Karena, hanya mereka yang menulis puisi tanpa hentilah yang disebut penyair.

Menikmati Jalan Puisi/Foto: Hermard
Menikmati Jalan Puisi/Foto: Hermard
Terhadap buku Jalan Puisi: Antologi Puisi Penyair Yogya Kelahiran 1950-an, Mashuri Alhamdulillah (penyair Jawa Timur), tak bisa menyembunyikan kekagumannya.

"Saya kira antologi ini berisi puisi-puisi lama. Ternyata semuanya puisi-puisi baru. Wah, sungguh elok, mengagumkan," ujarnya sambil membuka-buka  buku antologi terbitan Tonggak Pustaka (2023) saat mampir di Omah Ampiran.

Keberadaan dan daya cipta penyair Yogya memang tidak pernah surut. Setidaknya hal itu tercermin dalam puisi Simon HT.

Dari Stasiun Ke Stasiun
Bermula dari manakah perjalanan yang panjang ini? Perjalanan yang tak tahu kapan istirah.

Di setiap stasiun peluit panjang berbunyi pertanda perjalanan segera mulai lagi.
Setiap tiba, senantiasa,  siap berangkat pula.

Berakhir di manakah perjalanan yang panjang ini? Duh, aku ingin meloncat jauh.
2023

Puisi di atas merupakan cerminan bahwa sastra (puisi) Yogyakarta terus bergerak dinamis, tak ada matinya...

Faruk HT/Foto: Hermard
Faruk HT/Foto: Hermard
Faruk HT menjelaskan bahwa sastra Yogyakarta tahun 1970-an yang diisi oleh sastrawan kelahiran tahun 1950-an memiliki latar belakang sikap antikemapanan, sekuler, egaliter.

"Jalan puisi (penyair) tahun 1970-an merupakan jalan bohemian, tidak mengikatkan diri pada lembaga-lembaga besar. Artinya memilih jalan puisi adalah resistensi. Kita mempertaruhkan hidup untuk puisi, perlawanan keras terhadap cita-cita hidup," papar Faruk.

Kondisi resistensi tergambar dari situasi penyair wani mati, wani musuh-musuhan, wani dadi kere untuk menjadi penyair.

Kalau jalan kita adalah jalan puisi, ya terus saja menulis puisi. Ini merupakan jalan kita, jujur terhadap diri sendiri terhadap situasi sekitar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun