- Jalan Puisi Fauzi Absal, Simon HT/Foto: Hermard
Sejarah dan perkembangan sastra Yogyakarta tidak dapat dilepaskan dari peran Persada Studi Klub (PSK) dan koran Pelopor Yogya yang dipandegani oleh  Umbu Landu Paranggi bersama para penyair Yogyakarta kelahiran tahun 1950-an.Â
Kenyataan  menarik, penyair yang kini usianya sudah di atas 60 tahun (kelahiran tahun 1950-an) sampai hari ini masih terus menulis puisi. Mereka seperti tidak lelah menulis puisi, meskipun sejak umur dua puluhan tahun sudah menulis puisi.Â
"Sekarang mereka menulis puisi tidak untuk memburu status kepenyairan. Rasanya obsesi itu sudah selesai bagi para penyair itu.Â
Menulis puisi, bagi mereka, selain untuk menjaga kecintaan terhadap sastra agar tidak lenyap, juga untuk menjaga proses kreatif agar terus berdetak," jelas Ons Untoro, di sela Obrolan Sastra Bulan Purnama, Jumat (11/8/2023) di Ruang Sutan Takdir Alisjahbana, Balai Bahasa Yogyakarta.
Obrolan Sastra Bulan Purnama edisi 4 mengangkat tema "Jalan Puisi di Tengah Sastra Yogya" Â menghadirkan Prof Dr Faruk (FIB-UGM) dan Sutirman Eka Ardhana (Penyair) sebagai pemantik obrolan.Â
Dalam sambutannya, Kepala Balai Bahasa Yogyakarta, Dra Dwi Pratiwi MPd, berharap sastra Yogyakarta terus berkembang dan komunitas sastra memberi warna dalam kehidupan sastra di Yogyakarta.
"Mari kita ramaikan kegiatan sastra di Yogyakarta. Perkembangan sastra di Yogyakarta menjadi tanggung jawab Balai Bahasa Yogyakarta dan komunitas-komunitas sastra yang tersebar di Yogyakarta," ujar  Dwi Pratiwi.
Penyair yang mendapat sentuhan PSK seperti Suminto, Fauzi Absal, Emha Ainun Nadjib, Simon HT, tetap setia mencipta puisi meskipun mereka disibukan dengan urusan di luar puisi. Suminto A. Sayuti  menjadi guru besar, suntuk dengan dunia akademisi. Meskipun begitu, Suminto masih senang menulis puisi. Â
Di sisi lain, Emha Ainun Najib,  pada  tahun 1970-an menjadi salah satu ikon penyair di Yogya, dan ia tidak berhenti menulis puisi.Â
Penyair lainnya, Landung Simatupang, selain masih menulis puisi, berteater, Â penerjemah, juga sering terlibat dalam pembuatan film. Â Di tengah kesibukannya, Landung tidak berhenti menulis puisi.
"Para penyair lainnya memiliki aktivitas berbeda-beda. Mustofa, Eka Ardhana, Wadie, menekuni profesi sebagai wartawan, tetapi menulis puisi masih terus ditekuni. Simon HT, sebagai aktivis LSM, mempunyai aktivitas pengembangan masyarakat, namun cintanya pada puisi tidak habis. Puisinya terus mengalir. Begitu juga Krishna Mihardja, setelah  pensiun dari guru matematika, puisi setia dipeluknya," papar Ons, seperti yang dituliskannya dalam kata pengantar antologi Jalan Puisi.
Itulah penyair, selalu menulis puisi. Karena, hanya mereka yang menulis puisi tanpa hentilah yang disebut penyair.
Terhadap buku Jalan Puisi: Antologi Puisi Penyair Yogya Kelahiran 1950-an, Mashuri Alhamdulillah (penyair Jawa Timur), tak bisa menyembunyikan kekagumannya.
"Saya kira antologi ini berisi puisi-puisi lama. Ternyata semuanya puisi-puisi baru. Wah, sungguh elok, mengagumkan," ujarnya sambil membuka-buka  buku antologi terbitan Tonggak Pustaka (2023) saat mampir di Omah Ampiran.
Keberadaan dan daya cipta penyair Yogya memang tidak pernah surut. Setidaknya hal itu tercermin dalam puisi Simon HT.
Dari Stasiun Ke Stasiun
Bermula dari manakah perjalanan yang panjang ini? Perjalanan yang tak tahu kapan istirah.
Di setiap stasiun peluit panjang berbunyi pertanda perjalanan segera mulai lagi.
Setiap tiba, senantiasa, Â siap berangkat pula.
Berakhir di manakah perjalanan yang panjang ini? Duh, aku ingin meloncat jauh.
2023
Puisi di atas merupakan cerminan bahwa sastra (puisi) Yogyakarta terus bergerak dinamis, tak ada matinya...
Faruk HT menjelaskan bahwa sastra Yogyakarta tahun 1970-an yang diisi oleh sastrawan kelahiran tahun 1950-an memiliki latar belakang sikap antikemapanan, sekuler, egaliter.
"Jalan puisi (penyair) tahun 1970-an merupakan jalan bohemian, tidak mengikatkan diri pada lembaga-lembaga besar. Artinya memilih jalan puisi adalah resistensi. Kita mempertaruhkan hidup untuk puisi, perlawanan keras terhadap cita-cita hidup," papar Faruk.
Kondisi resistensi tergambar dari situasi penyair wani mati, wani musuh-musuhan, wani dadi kere untuk menjadi penyair.
Kalau jalan kita adalah jalan puisi, ya terus saja menulis puisi. Ini merupakan jalan kita, jujur terhadap diri sendiri terhadap situasi sekitar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H