Mbah Jamal merupakan tetua desa sekaligus penggerak kesenian Lengger. Ia menunjukkan beberapa topeng dan instrumen musik yang digunakan dalam pementasan.Â
Diperoleh cerita, meskipun lengger dimainkan oleh lelaki, rata-rata bekerja sebagai petani atau peladang di desanya, peran perempuan tetap dimainkan secara alus sehingga tampak meyakinkan.
Pada tahun 1990-an seni lengger  surut dan sempat hilang. Mbah Jamal memunculkannya kembali dalam beberapa tahun terakhir.Â
Pada masa mudanya Mbah Jamal turut bermain lengger. Surutnya kesenian Lengger di Kalirejo disebabkan  banyaknya topeng lengger yang dijual ke kolektor. Rata-rata topeng kayu tersebut berusia lebih dari 100 tahun dan sudah turun-temurun digunakan. Ketika set topeng lengger terjual, maka kesenian Lengger  surut karena tidak ada topeng pengganti.
Dalam mewujudkan buku berisi story telling masyarakat pegunungan Menoreh, tentu memerlukan nyali-seperti diceritakan tim penyusun. Pertama, sumber cerita berasal dari penuturan tetua yang diasumsikan menguasai cerita turun-temurun. Kedua, tempat kediaman beberapa tetua berada di lokasi menantang: di pucuk gunung dengan medan curam, naik turun, dan tak bisa dilalui motor.Â
Meskipun begitu, buku tiga ratus halaman lebih yang terbagi dalam enam bagian ini berhasil diwujudkan. Keenam bagian itu: (1) Kisah Pangeran Diponegoro di Pegunungan Menoreh, (2)  Desa Ngadiharjo: Gerbang Menoreh di Sebelah  Barat Kawasan Cagar Budaya Nasional, (3) Desa Ngadirejo:  Tempat Para Wali Bersemayam, (4) Desa Kalirejo: Cerminan Kerja Keras dan Kemandirian Hidup, (5) Desa Ngargoretno: Gunung Emas di Sisi Utara Pegunungan Menoreh, dan (6) Desa Jati: Desa yang Tumbuh dari Hutan di Kaki Menoreh. Masing-masing bagian memiliki keunikan cerita rakyat/legenda yang kemudian dinarasikan ulang menjadi cerita menarik oleh tim penulis.
Upaya "merekonstruksi" Â tradisi lisan ke media tulis, bukanlah pekerjaan mudah. Hal ini terjadi karena tulisan berfungsi mendaur ulang pengetahuan yang ada di dunia lisan.Â
Mengalihwahanakan tradisi lisan ke tulisan bisa menjadi tidak mudah karena banyak aspek budaya, ekspresi, dan nuansa yang mungkin hilang dalam proses tersebut. Diperlukan kerja keras memilih kata-kata yang tepat guna menjaga keaslian cerita saat mentransfernya ke tulisan.Â
Artinya, saat mengalihwahanakan dari tradisi lisan ke tulisan, penting untuk mempertimbangkan elemen-elemen budaya, emosi, dan nuansa yang terkandung dalam cerita. Memilih kata-kata dengan hati-hati, menjaga kekhasan gaya bahasa, dan mungkin menyertakan penjelasan tambahan, dilakukan untuk membantu pembaca yang tidak akrab dengan budaya tersebut demi menjaga keaslian cerita ke dalam bentuk tulisan.
Meskipun tidak mungkin menghindari sepenuhnya kehilangan beberapa aspek, usaha ekstra ini dapat membantu melestarikan esensi tradisi lisan.Â
Dalam buku "Kisah-kisah dari Pegunungan Menoreh Utara", upaya ini setidaknya dapat dicermati dengan adanya penyertaan daftar istilah, ilustrasi pendukung, peta wilayah, dan foto dengan harapan elemen-elemen budaya, emosi, dan nuansa yang terkandung dalam tradisi lisan dapat "diterjemahkan" Â sebaik mungkin kedalam tulisan.Â
Seandainya pun apa yang tersaji dalam buku ini agak melenceng dari harapan pembaca,  Tim Welut Art Project  menyiasatinya dengan memberi tanda apostrof ganda pada judul buku; menandai bahwa dalam konteks tertentu buku itu bisa dimaknai sebagai sebuah obrolan-percakapan ringan dan santai, rerasan ngalor-ngidul-bukan kajian ilmiah.