Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bahasa dan Jatidiri

3 Agustus 2023   15:19 Diperbarui: 3 Agustus 2023   23:23 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bela Bahasa Indonesia/Foto: Hermard

Secara kebetulan, dua orang teman pada hari Rabu (2/8/2023)  menulis soal bahasa di status facebook mereka. Teguh Dewabrata (Biro Humas Kemendikbudristek, Jakarta) menulis bahwa bahasa mampu menunjukkan perasaan, adab, sensitivitas, dan kekayaan leksikon serta diksi seseorang. Bahasa juga mengajarkan seseorang bagaimana menikmati rasa cinta: mencintai dan dicintai.

Sementara itu Didid Dananto (penggagas Museum Gresek, Yogyakarta) berupaya merespon "tipis-tipis" situasi horeg belakangan ini di bawah judul "Makian Bajingan, Bangsat, Tolol itu Bukan Tikyan Banget". Ini merupakan semacam antitesa pemahaman terhadap keberadaan tikyan dan cendikiawan. 

Didid yang dikenal  sebagai pembina anak-anak pinggir kali (girli) Code dan anak jalanan bersama Romo Mangunwijaya menceritakan  saat tikyan (anak jalanan) generasi awal 1980-an menjadikan jalanan sebagai ruang hidup di usia belia mereka, maka nilai-nilai jalananlah yang membentuk gaya bicara, perilaku, dan sikap mereka terhadap orang lain.  

Tanpa mempertimbangkan konteks keberadaan tikyan saat itu, maka keberadaan mereka akan sangat terkesan menjijikan, bahkan meneror masyarakat.

Perilaku, merokok, thithikan (judi), menyantap hoyen (sisa makanan dari restoran), atau bahkan berkunjung ke "niyang", misalnya, sangatlah mengusik keamanan dan kenyamanan moralitas masyarakat.

Guyonan antar tikyan, dikenal  sebagai gojeg kere, hingga ekspresi verbal semacam bajingan, bangsat (yang  belakangan ini viral karena ternyata seorang cendekiawan pun menggunakannya), sungguh bikin merinding.

Teguran halus penuh welas asih hingga teguran kasar dari masyarakat kepada tikyan  karena gojeg kere itu, mengajarkan  mereka untuk bersikap lebih santun. Salah satunya mengganti umpatan seperti bajingan, bangsat, tolol dengan kata yang lebih bisa diterima masyarakat.

Lewat pertemuan para tikyan, lalu disepakati "kebijakan" baru mengenai umpatan di lingkungan tikyan.  Misalnya, umpatan untuk hari Senin  diganti dengan nama alat-alat dapur, maka wajan, kompor, sothil, parut, uleg-uleg dan lain-lain menjadi pilihan kata umpatan.

"Barang siapa keceplosan menggunakan umpatan seperti beliau intelektual itu, didenda dua puluh lima rupiah. Dendanya untuk menambahi tabungan ngontrak rumah singgah tahun berikutnya. Hari lainnya, umpatan diganti lagi seseuai kesepakatan tikyan, seperti jenis kendaraan, nama buah," tulis Didid.

Problem mengumpat terselesaikan. Tikyan tetap bisa mengumpat, tetangga terhibur kadang tertawa gemas.

Saya membayangkan kalau Didid bersama para tikyan saling mengumpat: dasar kedondong, dasar uleg-uleg,  dasar becak! Tak ada lagi kata bangsat, bajingan, tolol, terlontar dari para tikyan.

Terlebih kata umpatan tiga terakhir itu, saat ini sedang disematkan kepada salah seorang akademisi dan intelektual yang  meradang di sebuah acara diskusi.

Melalui bahasa, kita bisa mengekspresikan siapa diri kita dan bagaimana kita ingin dilihat oleh orang lain. 

Ada benarnya para bijak menyatakan bahwa bahasa dapat mencerminkan kepribadian seseorang. Pilihan kata (diksi), gaya berbicara, dan penggunaan bahasa menunjukkan bagaimana seseorang berpikir, merasa, dan berinteraksi dengan dunia sekitarnya. Bahasa dapat pula mengungkapkan nilai-nilai, budaya, dan latar belakang sosial individu.

Hal terakhir ini secara gamblang dapat dicermati dari bagaimana orang Jawa berkomunikasi. Dalam bahasa Jawa (Glifford Geertz)  hampir tidak mungkin mengatakan apa pun tanpa menunjukkan perhubungan sosial antara pembicara dan pendengar dalam hubungannya dengan kedudukan dan keakraban. 

Orang akan mempertimbangkan kepada siapa mereka berbicara. Apakah akan mengatakan, Panjenengan saking tindak pundi? Atau Kowe saka endi? Pilihan pertama dilakukan jika berbicara kepada orang yang lebih terhormat/lebih tua, sedangkan yang kedua jika berbicara kepada orang yang lebih muda atau memiliki kelas sosial setara.

Meskipun hidup di Yogyakarta, kita  belum tentu paham dengan deretan kata-kata mendes, hongib, ndangil, jaker, keple, herek, kewer, mletre, dan gembyeng. Mengapa? Karena kata-kata tersebut hanya dipahami sekelompok orang, dalam lingkup budaya terbatas.   Dayi mletre Dab!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun