Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengeja Puisi dalam Trilogi Teka-teki Titik Nol dan Soneta Tunjung Hati

8 Juli 2023   20:26 Diperbarui: 9 Juli 2023   05:21 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Obrolan Sastra Bulan Purnama/Foto: Hermard

Marjuddin Suaeb memanfaatkan puisi untuk mengungkapkan kegelisahan terhadap tata nilai, situasi politik, dan persoalan kemasyarakatan yang terjadi di sekitarnya.

Puisi "Sesat Sesat Sekarat", berisi kritik terhadap rezim penguasa, perlunya perubahan dalam masyarakat. Lewat bahasa yang lugas, penyair menyampaikan urgensi  transformasi dan pentingnya upaya individu dalam  pertumbuhan spiritual. Perubahan harus terjadi dalam skala yang lebih besar dan melibatkan upaya banyak orang, mencakupi sistem eksternal, sikap, dan tindakan individu.  

Di samping itu, puisi-puisi dalam Trilogi Teka-Teki Titik Nol   berperan dalam meningkatkan kesadaran mengenai berbagai masalah kehidupan bermasyarakat, berkontribusi dalam pelestarian   warisan budaya dan tradisi.

Puisi  "Alun-Alun Lor, Debu dan Dhuwit", misalnya, memiliki pesan  cukup dalam tentang pentingnya melakukan tindakan dan usaha meskipun itu berskala kecil (obah mamah), serta menghargai setiap hasil yang didapatkan, sekecil apa pun itu. Puisi ini  memunculkan nuansa lokal dan budaya Yogyakarta dalam penggunaan kata-kata khas dan ungkapan tertentu.

Puisi   "Monolog Makam" mengeksplorasi tema ketuhanan, pertanyaan-pertanyaan tentang makna hidup, godaan dunia, kebijaksanaan, dan kesendirian.

Sedangkan puisi  "Amsal Api" menggambarkan perbandingan antara api, hati, dan hawa nafsu dalam kehidupan manusia. Secara keseluruhan, puisi ini memanfaatkan api sebagai metafora kehidupan manusia dan kekuatan yang dapat membakar (baik dalam bentuk nafsu dan amarah maupun kekuatan transformasional). Puisi ini menunjukkan keinginan  mencapai keabadian dan mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan filosofis tentang asal-usul dan sumber kehidupan.

Tunjung Hati/Foto: Hermard
Tunjung Hati/Foto: Hermard
Dunia Yuliani terasa lebih personal karena tema dan persoalan yang diungkapkan dalam Tanjung Hati lebih berkenaan dengan hal-hal internal (curahan hati) yang dibelabarkan ke persoalan-persoalan di sekitarnya.

Soneta "Senja di antara Guguran Daun Jati" menggambarkan perasaan kehilangan, kebingungan, dan kegalauan di tengah-tengah suasana senja yang suram, memberikan kesan kehampaan dan nostalgia terhadap masa   lalu yang tidak mungkin kembali lagi. Di tengah kehampaan itu, ada satu hal yang tetap tertidur dengan nyaman, yaitu puisi itu sendiri.

Soneta "Puisi Hantu"  menggambarkan bahwa "hantu" di benak penyair merupakan gambaran dari puisi yang tidak dapat diselesaikan.   Soneta ini menggambarkan keinginan mengungkapkan perasaan yang dalam dan mengharapkan kesempatan untuk menulis puisi yang bisa mengungkapkan keindahan dan kesedihan sekaligus.

Di sisi lain, soneta "Pelepah Rindu" mengabstraksikan pengalaman rindu yang tidak bisa dihindari dan keinginan untuk mengatasi perdebatan dan pertengkaran melalui kebersamaan dan kehangatan. Ada unsur keromantisan dan keharuan. Soneta ini memberikan gambaran mengenai perasaan dan keinginan yang mendalam dalam konteks pengalaman rindu.

Dengan mendorong batas-batas bahasa, baik Marjuddin maupun Yuliani mampu menciptakan pengalaman yang unik bagi pembacanya, memungkinkan mereka  terhubung dengan puisi pada tingkat yang lebih dalam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun