Apakah kita sudah menjadi diri sendiri? Berani menulis dengan mencantumkan nama asli sesuai dengan nama di kartu tanda pengenal? Atau kita masih senang menggunakan nama pena atau nama panggung?Â
Dulu saat awal menjadi penulis, saya mencantumkan nama yang bukan nama sebenarnya, alias nama pena. Biar seperti artis yang selalu mengubah namanya agar keren dan marketable. Nama dipilih sesuka hati agar terlihat mentereng, berbeda dengan nama-nama yang sudah ada.Â
Setelah cukup banyak tulisan berhasil tayang di media massa (koran), seorang karib bertanya kepada saya, mengapa tidak memakai nama asli, apakah tidak bersedia  bertanggung jawab terhadap tulisan yang dibuat, mengapa harus berlindung di belakang nama yang tidak  memiliki dokumen pertanggungjawaban?
Saat itu saya tak peduli dengan pertanyaan yang terkesan mengada-ngada. Bukankah dalam tradisi sastra Indonesia sejak awal perkembangannya ada pengarang yang sengaja menggunakan nama samaran?Â
Hamka menyebut dirinya Aboe Zaky, Armijn Pane dengan nama Anom Lengghana, dan A. Rifai sebagai UsEffNas.Â
Dalam dunia sastra Jawa, pemakaian nama samaran sudah begitu jamak. Bahkan seorang pengarang bisa memiliki lebih dari tiga nama samaran. Uniknya ada beberapa pengarang sastra Jawa berjenis kelamin laki-laki menyamar menjadi penulis dengan nama samaran perempuan.
Pengarang senior Suparto Brata memiliki nama samaran perempuan, Peni dan Aryati, Â di samping nama samaran Eling Jatmiko dan M. Sholeh. Penggunaan nama samaran Peni dipakai Suparto Brata dalam Katresnan kang Angker, Pethite Nyai Blorong, Â Sanja Sangu Trebela, Â dan Astirin Mbalela.
Penggunaan nama samaran yang dilakukan Suparto Brata tidak mempunyai tendensi khusus, kecuali agar pembaca tidak jenuh membaca karya-karyanya. Â
Pengarang laki-laki lainnya, Sapardi Djoko Damono, dalam menulis novel panglipur wuyung, juga menggunakan nama samaran Naning Saputra. Nama itu setidaknya tertulis dalam karyanya Angin Oktober, Jodo kang Winadi, Prawan Impala, dan Randha Manis Weton Trini.
Penggunaan nama samaran itu merupakan bentuk kekaguman  terhadap kekasih penyair "Hujan Bulan Juni"  bernama Wardiningsih. Jika kemudian karya-karya dengan nama samaran itu kurang diperhitungkan dalam perkembangan sastra Jawa, Sapardi menyadari bahwa karyanya memang hadir sebagai sastra ubyang-ubyung, picisan.
Hal yang menyesatkan pembaca dan peneliti adalah mereka tidak paham jika Naning Saputra merupakan nama lain Sapardi Djoko Damono.
Pengarang novel panglipur wuyung lainnya yang cukup produktif menulis pada tahun 1960-an sampai 1970-an adalah Ngubaini Ranusastra Asmara dengan memakai nama samaran Any Asmara. Karyanya antara lain Grombolan Gagak Mataram, Gandrung Putri Sala, Korbaning Katresnan, Putri Tirtagangga, dan  Grombolan Nomer 13.
Belajar dari Sapardi Djoko Damono
Jika kita cermati, dalam dunia tulis-menulis, maka pemakai nama samaran kebanyakan dilakukan oleh para sastrawan, penulis yang melahirkan karya-karya bersifat subjektif/imajinatif.
Dalam kasus Sapardi, hal ini menjadi menarik karena di samping sastrawan ia sekaligus akademisi.Â
Guru besar ini sadar bahwa nama samaran yang digunakan hanya untuk bersenang-senang, sekadar ngomboyongi kehidupan sastra panglipur wuyung.Â
Bahkan ia memaklumi ketika para pengamat sastra Jawa tidak menyadari dan tidak memperhitungkan karya-karyanya dengan nama samaran Naning Saputra.Â
Artinya, di sisi lain ia tetap eksis dengan nama Sapardi Djoko Damono yang membawanya menjadi guru besar dan pengarang tersohor di Indonesia.
Menjadi akademisi (dosen) dengan jabatan guru besar tentu memerlukan proses penilaian kenaikan jenjang kepangkatan, salah satunya berdasarkan karya tulis ilmiah/artikel yang telah dihasilkan untuk meraih KUM.
Nilai KUM merupakan poin-poin yang didapatkan tenaga peneliti/dosen dalam pelaksanaan kegiatan dan tugasnya (jabatan fungsional). Poin-poin atau nilai KUM tersebut dapat digunakan sebagai pengembangan karir tenaga fungsional/ akademik, salah satunya pengajuan kenaikan jabatan fungsional.Â
Tentu saja karya tulis yang bisa dipertanggungjawabkan dalam urusan birokrasi adalah nama penulisnya sesuai dengan data administrasi kependudukan.
Hal ini pernah saya alami saat menjadi peneliti di salah satu instansi pemerintah. Puluhan karya tulis berbentuk artikel tidak dapat diajukan untuk kenaikan jabatan fungsional karena nama yang tercantum tidak sesuai dengan nama yang tertera dalam KTP.
Saya lalu teringat kembali dengan pertanyaan seorang karib, mengapa berlindung di belakang nama yang tidak  memiliki dokumen pertanggungjawaban?
Mulai sekarang, bagi penulis pemula yang ingin menjadi guru, dosen, tenaga fungsional, biasakanlah menerakan nama asli di setiap karya tulis agar tidak menyesal di kemudian hari.Â
Bukankah nama asli adalah doa yang diberikan orang tua sekaligus mencerminkan diri seseorang dengan apa adanya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H