Dalam kasus Sapardi, hal ini menjadi menarik karena di samping sastrawan ia sekaligus akademisi.Â
Guru besar ini sadar bahwa nama samaran yang digunakan hanya untuk bersenang-senang, sekadar ngomboyongi kehidupan sastra panglipur wuyung.Â
Bahkan ia memaklumi ketika para pengamat sastra Jawa tidak menyadari dan tidak memperhitungkan karya-karyanya dengan nama samaran Naning Saputra.Â
Artinya, di sisi lain ia tetap eksis dengan nama Sapardi Djoko Damono yang membawanya menjadi guru besar dan pengarang tersohor di Indonesia.
Menjadi akademisi (dosen) dengan jabatan guru besar tentu memerlukan proses penilaian kenaikan jenjang kepangkatan, salah satunya berdasarkan karya tulis ilmiah/artikel yang telah dihasilkan untuk meraih KUM.
Nilai KUM merupakan poin-poin yang didapatkan tenaga peneliti/dosen dalam pelaksanaan kegiatan dan tugasnya (jabatan fungsional). Poin-poin atau nilai KUM tersebut dapat digunakan sebagai pengembangan karir tenaga fungsional/ akademik, salah satunya pengajuan kenaikan jabatan fungsional.Â
Tentu saja karya tulis yang bisa dipertanggungjawabkan dalam urusan birokrasi adalah nama penulisnya sesuai dengan data administrasi kependudukan.
Hal ini pernah saya alami saat menjadi peneliti di salah satu instansi pemerintah. Puluhan karya tulis berbentuk artikel tidak dapat diajukan untuk kenaikan jabatan fungsional karena nama yang tercantum tidak sesuai dengan nama yang tertera dalam KTP.
Saya lalu teringat kembali dengan pertanyaan seorang karib, mengapa berlindung di belakang nama yang tidak  memiliki dokumen pertanggungjawaban?
Mulai sekarang, bagi penulis pemula yang ingin menjadi guru, dosen, tenaga fungsional, biasakanlah menerakan nama asli di setiap karya tulis agar tidak menyesal di kemudian hari.Â
Bukankah nama asli adalah doa yang diberikan orang tua sekaligus mencerminkan diri seseorang dengan apa adanya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H