Di samping itu, Cak Nun, lelaki yang mengaku berteman baik dengan Linus Suryadi, menghargai kerja Ons Utoro yang menghadirkan antologi Jalan Puisi dengan formula yang bebas dari bias-bias, tidak ada persyaratan aneh-aneh, selain penyair yang lahir pada tahun 1950-an.
Hal tak kalah menarik disampaikan Mustofa W. Hasyim, bahwa  mencipta puisi itu seperti perang dengan berbekal peluru kata-kata. Penyair harus punya jurus-jurus silat agar tidak terkapar di panggung.
pembacaan dari penyair lainnya.
Sore yang mendung dan gerimis kecil tak menghalangi Fauzi Absal membaca puisi "Kodok Ngorek", Enes Pribadi "Kata-kata", Wadie Maharief "Tari Topeng", Krishna Mihardja "Balada Dua Gelas Kaca", disambung denganDua pembaca tamu yang tampil dengan baik dan mengesankan adalah Laretna T Adhisakti (seorang arsitek) membaca puisi "Di Celah-celah Perbukitan La Savoir" (Darwis Khudori) dan Wicahyanti Rejeki (guru) "Sesobek Tiket ke Kotamu" (Suminto A. Sayuti).
Begitulah, puisi mampu menjadi media sesrawungan di Sastra Bulan Purnama. Menyadarkan bahwa sastra tetap layak dirawat demi keutuhan nilai-nilai hakiki kemanusiaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!