Setelah gagal janjian buka bersama saat ramadan beberapa waktu lalu, tiba-tiba Cik Hen (Heni Kertopawiro) dan Mas Sholeh, dua teman yang dikenal sebagai "orang pintar" (di bidang terawangan dan hipnoterapi), mengajak trip  ke Umbul Jumprit yang terletak di wilayah Temanggung.
"Kita akan ke sumber mata air suci yang berasal dari lereng gunung Sindoro. Air ini selalu digunakan sebagai air berkah dalam pemberkahan air suci Waisak," jelas Cik Hen.
Begitulah pada hari Selasa (9/5/2023) kami sepakat menjelajah melewati kota Muntilan, Magelang, dan Temanggung dalam waktu tempuh dua jam mencapai lokasi Umbul Jumprit di Tegalrejo, Ngadirejo, Temanggung.
Setibanya di pintu masuk Umbul Jumprit, kami disambut ramah oleh Pak Widi (61), salah seorang penjaga. Lokasinya berada di tepi jalan raya Ngadirejo, dipenuhi pohonan rindang menghijau. Susananya sejuk, adem, cocok bagi pengunjung yang ingin nenepi mencari ketenangan.Â
Diceritakan juga bahwa Ki Jumprit merupakan ahli nujum sakti mandraguna dari Majapahit. Konon ia merupakan putra dari Prabu Brawijaya, raja Majapahit, Â yang melarikan diri sampai ke kaki pegunungan Sindoro di Temanggung.
Legenda lain menceritakan  bahwa Ki Dipo, merupakan kera milik Eyang Singanegoro, penasihat Prabu Brawijaya V yang melarikan diri dari Majapahit bersama isteri dan dua pengawalnya sampai ke lereng gunung Sindoro di Ngadirejo, Temanggung.
Untuk mencapai umbul, peziarah harus melalui jalan setapak buatan. Di sisi kanan ada kolam, merupakan tempat kungkum (berendam) dan di salah satu sudutnya berdiri patung Semar. Mengapa patung Semar?
Sementara di sebelah kiri jalan setapak, lebih menyerupai parit  tempat air mengalir ke bawah lereng.
Umbul Jumprit merupakan situs suci bagi aliran kepercayaan maupun umat Budha. Menurut Tyas Titi Kinapti (Merdeka.com), air di Umbul Jumprit bukanlah air biasa. Bagi Umat Budha, dianggap sebagai air suci pembersih jiwa manusia. Pengambilan air suci ini dengan harapan seluruh manusia di dunia agar sadar bahwa jiwa ini bagaikan jiwa Sang Buddha. Penuh cinta kasih tanpa memandang aliran dan agama.
"Di dalam bangunan itu terdapat makom Ki Jumprit dan Eyang Singanegoro," ujar Pak Widi sambil menunjuk ke bangunan dengan dominasi warna hijau.Â
Tempat ini  dipenuhi peziarah setiap hari pasaran malam Selasa Kliwon, Jumat Kliwon, atau tanggal 1 Sura. Saat mendekat, saya mencium semerbak mawar menguar mewangi.  Ini menandakan banyaknya penziarah yang datang ke sini menaburkan bunga.
"Jika berziarah ke sini harus dengan niat yang tulus. Jangan sesekali berbuat yang aneh-aneh. Pernah ada yang ngomyang sendiri karena saat berada di area ini berteriak-teriak seenaknya sendiri," jelas Pak Widi yang sejak kanak-kanak mengakrabi tempat ini.
Seluruh area dipenuhi pohon-pohon pinus besar berusia puluhan tahun, berfungsi sebagai peneduh dan tempat berlindung ratusan monyet. Keasrian kawasan ini terjaga karena termasuk hutan lindung milik Perhutani, pengelolaannya berada di bawah Perum Perhutani KPH Kedu Utara, Â masuk dalam petak 8A RPH Kwadungan BKPH Temanggung dengan luas mencapai 1,6 hektar.
"Sesungguhnya kalau ingin mengunjungi wisata religi dengan urutan spiritual, tidak langsung ke sini. Perjalanan ziarah dimulai dari lereng gunung Lawu, Sindoro, dan Tidar sebagai pakuning bumi," terang Cik Hen dalam perjalanan pulang ke Yogyakarta.