Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Wanita Jawa dalam Sastra Indonesia

4 Mei 2023   16:50 Diperbarui: 4 Mei 2023   17:06 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kenyataan yang menarik pada awal perkembangan karya sastra Indonesia modern, sejak tahun 1920-an, wanita telah menjadi pusat perhatian di dalam karya sastra. Novel Siti Nurbarya maupun Azab dan Sengsara, sebagai novel awal dalam perkembangan novel Indonesia modern, keduanya menguak kehidupan wanita. Dari sisi lain, perkembangan awal karya sastra Indonesia diwarnai oleh pengungkapan latar Minangkabau.

Kondisi ini dimungkinkan karena tahun 1920-an hingga tahun 1940-an, mayoritas pengarang Indonesia berasal dari Sumatera (khususnya Sumatera Barat) sehingga banyak tema karya sastra  berkaitan dengan konflik modernisasi kontra adat istiadat masyarakat Minangkabau. Persoalan tersebut  mengakibatkan tokoh wanita terseret kedalam konsep kawin paksa.

Menurut Jakob Sumardjo, wanita dalam roman-roman sebelum perang rata-rata merupakan korban dari kondisi sosialnya. Faktor yang berpengaruh terhadap situasi tersebut adalah faktor orang tua, baik karena ambisi materialistiknya maupun adat masyarakat. 

Sejajar dengan pendirian ini, Takdir Alisjahbana menegaskan bahwa kebebasan dalam memilih jodoh merupakan unsur yang paling banyak menimbulkan pertikaian dalam konteks realitas dengan sastra, seperti terlihat dalam karya sastra Indonesia sebelum perang, misalnya Siti Nurbaya (Marah Rusli), Azab dan Sengsara (Merari Siregar), dsb. 

Roman sastra sebelum perang mengangankan wanita sebagai komponen yang dapat memberikan keseimbangan terhadap mobilitas rumah tangga, merupakan antagonis dari pria sebagai kepala rumah tangga. 

Oleh karena itu, kebanyakan roman sebelum perang menggambarkan berbagai tindakan yang pada dasarnya merugikan kaum wanita. Penyebabnya karena dominannya kekuasaan tokoh laki-laki sehingga secara tidak sadar tokoh perempuan menjadi korban dari suatu keadaan.

Pada perkembangan sastra tahun 1980-an muncul tokoh-tokoh wanita Jawa dalam sastra Indonesia. Ada tiga hal esensial yang harus diperhatikan dalam membicarakan eksistensi wanita dan faktor penyebab munculnya tokoh wanita Jawa dalam karya sastra, yaitu (1) karya sastra harus dilihat sebagai pengaruh timbal balik yang rumit dari faktor- faktor sosial kultural, dan untuk menjadikan novel sebagai media komunikasi sosial budaya dapat ditempuh dengan jalan menjadikan figur yang teridentifikasi secara rasional dengan latar belakang budaya etnis tertentu.

(2) analisis aspek tokoh wanita selalu dengan mempertimbangkan totalitas karya sastra dan di pihak lain karya sastra dipertimbangkan sebagai salah satu hierarki aspek sosial budaya, dan (3) wanita sebagai sebuah konsep, baik yang diangankan oleh pengarang maupun pembaca, berbeda dalam setiap periode, semestaan, bahkan pada setiap individu. 

Dari tiga hal tersebut tergambar adanya kaitan antara faktor latar, penokohan dan gerak atau kondisi kebudayaan.

Mengenai perkembangan latar (yang berpengaruh terhadap aspek penokohan) dalam karya sastra dapat dicermati dari gagasan   yang menyatakan bahwa kesusastraan Indonesia yang resmi muncul sekitar tahun 1920-an didominasi oleh sastrawan Melayu atau Sumatera. Setelah revolusi barulah sastrawan Jawa mulai menyumbangkan aspirasinya. 

Hal ini semakin nyata setelah tahun 1970-an dengan munculnya latar Jawa (khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur) di dalam karya sastra Indonesia, misalnya dalam karya-karya NH. Dini, Hariadi S. Hartowardoyo, Ashadi Siregar, Jaso Winarto, dan Umar Kayam.

Kasus menarik pada perkembangan berikutnya adalah munculnya latar Jawa dalam karya sastra Indonesia tahun 1980-an yang mengacu kepada cara hidup, kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir, dan sistem nilai sosial budaya yang terdapat dalam kehidupan masyarakat Jawa. 

Situasi ini dapat dihubungkan dengan potensi pengarang (misalnya Y.B. Mangunwijaya, Linus Suryadi, Ahmad Tohari, Suparto Brata, Pandir Kelana, dan Arswendo Atmowiloto) yang akrab dengan budaya Jawa; mereka setidaknya berasal atau pernah menetap di wilayah Pulau Jawa. 

Dalam tataran ini perlu diingat kembali bahwa seorang pengarang selalu memperhatikan dan mempergunakan kehidupan di sekelilingnya sebagai sumber inspirasi penciptaan karya sastra.
Pengarang dalam memilih latar (yang kemudian dikaitkan dengan tema dan permasalahan serta aspek penokohan) dipengaruhi oleh lingkungan, interes pribadi, dan interes itu sendiri merupakan bagian dari suatu elemen masyarakat yang lebih luas. 

Jadi, bukan tidak mungkin seorang tokoh dianggap sebagai simbol suatu sistem nilai tertentu, sama halnya denngan latar yang menjadi bahan yang diekspresikan oleh sastrawan ke dalam karyanya. 

Dengan kata lain,  muatan latar lokal dalam karya sastra menuntut kemampuan sastrawan menjelaskan hubungan antara corak watak tertentu, budaya tertentu, dengan daerah lingkungan hidupnya. 

Pandangan ini mengasumsikan kemungkinan munculnya anasir lokal sebagai suatu proses dialektika terhadap integrasi budaya di Indonesia.

Teeuw menjelaskan bahwa Jawanisasi kesusastraan Indonesia terjadi karena sastrawan Indonesia yang menonjol sejak tahun 1970-an adalah mereka yang berangkat dari akar tradisi budaya Jawa. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pada hakikatnya anasir Jawa yang muncul dalam karya sastra Indonesia tahun 1980-an merupakan cermin tanggung jawab pengarang  atas wujud dan format kebudayaan nasional bangsa. 

Dalam rangka mengisi kebudayaan nasional (yang "mengindonesia"), maka pengarang karya sastra tahun 1980-an mencoba mencari "terobosan" dengan memanfaatkan khazanah tradisi subkultur Jawa dan diungkapkan ke dalam karya sastra.

Penampilan tokoh wanita dalam karya sastra tahun 1980-an melalui Pengakuan Pariyem, Burung-Burung Manyar, Rara Mendut, Ronggeng Dukuh Paruk, misalnya,   mampu menunjukkan eksistensi wanita, memperlihatkan mobilitas wanita dalam proses perubahan sosial budaya Indonesia pada umumnya. 

Hal ini mengingat bahwa wanita dalam mobilitas sosial telah mencoba mempertanyakan eksistensinya, baik dengan cara menoleh dan menilai masa lampau sebagai aspek budaya bangsa yang kokoh maupun dengan melihat ke masa depan ke dalam lintas budaya internasional yang dinamis.

Persoalan yang menarik dalam kondisi belakangan ini menyangkut adanya perubahan gambaran mengenai stereotip wanita Jawa. Menurut Saparinah Sadli, meskipun wanita- wanita Jawa menunjukkan perilaku dan sifat-sifat khas yang tidak sama (bahkan mungkin bertentangan) dengan stereotif ideal wanita Jawa masa lalu dengan semakin terbukanya kesempatan bagi wanita Jawa (khususnya golongan priyayi) untuk memperoleh pendidikan dalam arti luas, maka dapat diprediksi bahwa dalam waktu mendatang gambaran stereotif mengenai wanita Jawa akan mengalami perubahan.

Sebagian wanita Jawa menolak konsep swarga nunut neraka katut karena mereka telah mampu mandiri, merasa mempunyai tanggung jawab yang sama dengan pria (baik terhadap keluarga maupun masyarakat).

Berkaitan dengan konsep sabar, nrima, dan pasrah, wanita Jawa masa kini berusaha menyesuaikan diri dengan alam sekitar, memelihara keharmonisan dan kerukunan masyarakat. 

Konsep manut dianggap bernilai positif jika bermanfaat, rasional, sesuai dengan situasi dan kondisi yang berlaku. Ditekankan oleh Sadli bahwa wanita Jawa pada umumnya memang masih mempunyai sifat-sifat sebagaimana tergambar dalam stereotip mengenai kelompoknya; namun selain itu, wanita Jawa pun mempunyai sifat kritis dan berani menyatakan pendiriannya.

Munculnya tokoh wanita Jawa dalam karya sastra Indonesia tahun 1980-an dapat disimak sebagai upaya penawaran gagasan guna mencari gambaran sosok wanita Jawa ideal dalam proses perubahan sosial budaya yang tengah terjadi.

Faktor penyebab munculnya tokoh wanita Jawa dalam prosa Indonesia tahun 1980-an dapat dikaitkan dengan (1) munculnya budaya Jawa dalam karya sastra, (2) bergeraknya episentrum sastra Indonesia dari Sumatera ke Jawa, dan (3) dalam rangka pengukuhan nilai-nilai subkultur Jawa maka hal tersebut dapat terwakili oleh keberadaan wanita Jawa. 

Pada tataran ini harus diingat bahwa wanita lebih kuat memegang dan dipegang oleh adat. Penjabaran konsep pasrah, nrima, nurut, misalnya, hanya bisa terwakili oleh tokoh wanita. 

Di samping itu, munculnya tokoh wanita Jawa dalam beberapa karya sastra tersebut diharapkan mampu memberikan gambaran sosok wanita Jawa ideal dalam pencarian identitas wanita Jawa masa kini.

Sebagian besar karya sastra dengan muatan latar lokal Jawa  mempunyai tokoh protagonis atau penggerak cerita seorang wanita, sehingga tokoh laki-laki harus menerima akibat dari perbuatan tokoh wanita. Hal ini telihat dalam novel Roro Menduut, Genduk Duku, Lusi Lindri, dan Generasi Yang Hilang. 

Dari beberapa novel yang dibahas, terlihat adanya perubahan gambaran mengenai sikap dan pandangan hidup wanita Jawa, di samping masih terlihat pula penggambaran ideal wanita Jawa. 

Dalam Burung-Burung Muyar, Roro Mendut, Genduk Duku, Lusi Lindri dan Generasi Yang Hilang, terlihat adanya usaha pengarang (lewat kehadiran tokoh-tokoh wanita Jawa) untuk "memberontak" terhadap tradisi. Penggambaran wanita Jawa ideal (tradisional) tercermin dalam Pengakuan Pariyem, novelet Titisan Nyai Ladrang, novel Ibu Sinder, dan Canting (walau terdapat beberapa pengecualian). Tokoh wanita dalam keempat karya tersebut digambarkan sesuai dengan sikap dan sifat khas wanita Jawa, yaitu wanita yang serba pasrah dan nrima.

Keanekaragaman tokoh wanita Jawa yang ditampilkan dalam karya sastra Indonesia tahun 1980-an membuktikan adanya kehendak pengarang  mendudukkan tokoh wanita Jawa pada peringkat  cukup penting dalam perkembangan karya sastra Indonesia modern.

Lingkungan sosial dan status sosial pengarang yang berbeda secara individual akan menyebabkan perbedaan unsur yang terkandung di dalam karya cipta masing-masing, setidaknya ini ditunjukkan oleh aspek mimetik dan semestaan yang dilukiskan dalam cerita. 

Mangunwijaya, misalnya, cenderung menampilkan gambaran wanita Jawa yang sanggup melakukan "revolusi", menghadirkan sosok wanita kontroversial, wanita yang memberontak terhadap tradisi (baik karena kadar intelektual maupun dorongan kesadaran akan peran ganda wanita). 

Berbeda dengan Mangunwijaya, maka Linus Suryadi Ag. dan Pandir Kelana melukiskan kehidupan wanita yang sangat patuh kepada tradisi. Pengarang lain, Ahmad Tohari, memiliki keunggulan jika diperhatikan dari segi mimetik yang ditunjukkan lewat latar cerita dengan menampilkan berbagai jenis tumbuh-tumbuhan dan bermacam-macam hewan.

Latar Jawa yang ditampilkan dalam karya sastra Indonesia tahun 1980-an bersifat unik; mengacu kepada cara hidup, kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir, bertumpu kepada sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat Jawa.  Secara implisit, tersirat adanya kehendak pengarang tahun 1980- an, menawarkan tradisi subkultur Jawa sebagai salah satu unsur penyangga kebudayaan nasional Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun