Konsep manut dianggap bernilai positif jika bermanfaat, rasional, sesuai dengan situasi dan kondisi yang berlaku. Ditekankan oleh Sadli bahwa wanita Jawa pada umumnya memang masih mempunyai sifat-sifat sebagaimana tergambar dalam stereotip mengenai kelompoknya; namun selain itu, wanita Jawa pun mempunyai sifat kritis dan berani menyatakan pendiriannya.
Munculnya tokoh wanita Jawa dalam karya sastra Indonesia tahun 1980-an dapat disimak sebagai upaya penawaran gagasan guna mencari gambaran sosok wanita Jawa ideal dalam proses perubahan sosial budaya yang tengah terjadi.
Faktor penyebab munculnya tokoh wanita Jawa dalam prosa Indonesia tahun 1980-an dapat dikaitkan dengan (1) munculnya budaya Jawa dalam karya sastra, (2) bergeraknya episentrum sastra Indonesia dari Sumatera ke Jawa, dan (3) dalam rangka pengukuhan nilai-nilai subkultur Jawa maka hal tersebut dapat terwakili oleh keberadaan wanita Jawa.Â
Pada tataran ini harus diingat bahwa wanita lebih kuat memegang dan dipegang oleh adat. Penjabaran konsep pasrah, nrima, nurut, misalnya, hanya bisa terwakili oleh tokoh wanita.Â
Di samping itu, munculnya tokoh wanita Jawa dalam beberapa karya sastra tersebut diharapkan mampu memberikan gambaran sosok wanita Jawa ideal dalam pencarian identitas wanita Jawa masa kini.
Sebagian besar karya sastra dengan muatan latar lokal Jawa  mempunyai tokoh protagonis atau penggerak cerita seorang wanita, sehingga tokoh laki-laki harus menerima akibat dari perbuatan tokoh wanita. Hal ini telihat dalam novel Roro Menduut, Genduk Duku, Lusi Lindri, dan Generasi Yang Hilang.Â
Dari beberapa novel yang dibahas, terlihat adanya perubahan gambaran mengenai sikap dan pandangan hidup wanita Jawa, di samping masih terlihat pula penggambaran ideal wanita Jawa.Â
Dalam Burung-Burung Muyar, Roro Mendut, Genduk Duku, Lusi Lindri dan Generasi Yang Hilang, terlihat adanya usaha pengarang (lewat kehadiran tokoh-tokoh wanita Jawa) untuk "memberontak" terhadap tradisi. Penggambaran wanita Jawa ideal (tradisional) tercermin dalam Pengakuan Pariyem, novelet Titisan Nyai Ladrang, novel Ibu Sinder, dan Canting (walau terdapat beberapa pengecualian). Tokoh wanita dalam keempat karya tersebut digambarkan sesuai dengan sikap dan sifat khas wanita Jawa, yaitu wanita yang serba pasrah dan nrima.
Keanekaragaman tokoh wanita Jawa yang ditampilkan dalam karya sastra Indonesia tahun 1980-an membuktikan adanya kehendak pengarang  mendudukkan tokoh wanita Jawa pada peringkat  cukup penting dalam perkembangan karya sastra Indonesia modern.
Lingkungan sosial dan status sosial pengarang yang berbeda secara individual akan menyebabkan perbedaan unsur yang terkandung di dalam karya cipta masing-masing, setidaknya ini ditunjukkan oleh aspek mimetik dan semestaan yang dilukiskan dalam cerita.Â
Mangunwijaya, misalnya, cenderung menampilkan gambaran wanita Jawa yang sanggup melakukan "revolusi", menghadirkan sosok wanita kontroversial, wanita yang memberontak terhadap tradisi (baik karena kadar intelektual maupun dorongan kesadaran akan peran ganda wanita).Â