Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Surat Cinta untuk Kampung Halamanku

30 April 2023   06:44 Diperbarui: 30 April 2023   06:49 1328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sisi lain kampung halamanku/Foto: Hermard

Kepada Kampung Halamanku, Yogyakarta

Selamat pagi kampung halamanku, semoga kabarmu baik-baik saja. Tidak terganggu dengan macetnya jalanan saat orang-orang mudik lebaran atau menikmati libur panjang. Tidak ternodai oleh biaya parkir liar yang waton ngawur sehingga mencoreng nama baikmu. 

Semoga engkau tidak lagi digelisahkan oleh peristiwa klithih yang membabi buta dan membuat suasana tengah malam  menjadi "ngeri-ngeri sedap".

Aku tahu, romantismemu tinggal suasana redup angkringan dipenuhi seloroh ngalor-ngidul pelanggan yang begitu akrab menikmati sego kucing, wedang jahe, sate usus, dan ceker. Sedangkan romantisme masa lalu: pentas kethoprak, karawitan, wayang kulit, tinggal ada di sejengkal tanah perdikan kebudayaan di desa-desa. 

Kalaupun di gedung-gedung kesenian masih ada pertunjukkan kesenian tradisional srandul, wayang wong, wayang beber, dan lainnya, semua lebih beraroma nguri-nguri kabudayan jawa dengan anggaran belanja instansi pemerintah. Semangat bela tradisi, lama-kelamaan kian luntur, jauh dari rasa handarbeni.

Romantisme Limasan Somaatmajan Seyegan/Foto: Hermard
Romantisme Limasan Somaatmajan Seyegan/Foto: Hermard
Tapi aku berusaha memahami situasimu, kampung halamanku. Bukankah tarik ulur antara nilai-nilai tradisi dan modernisasi memang terjadi di mana-mana? Terlebih engkau adalah kota pariwisata, kota pelajar yang terus berdetak, bersolek, dan bergerak maju sesuai tuntutan zaman? 

Tak salah jika di berbagai sudut kotamu muncul puluhan kafe, gerai makanan cepat saji,  mal, super market, kawasan elite dilengkapi pengamanan CCTV. 

Pos Kamling tanpa CCTV/Foto: Hermard
Pos Kamling tanpa CCTV/Foto: Hermard
Sementara di sisi lain, orang masih suka ngobrol di warung-warung kopi tubruk, pangkas rambut di bawah pohon waru, belanja di pasar tradisional, berkumpul di pos ronda/pos kamling seadanya untuk menjaga keamanan kampung.

Sekarang, gerobak sapi tak akan melintas di jalan-jalan protokol sebab dianggap mengganggu dan akan menyebabkan kemacetan. Sekarang di Jalan Diponegoro tak ada lagi tukang pijat lewat dengan bunyi "kencreng-kencreng!" sebab sudah berdiri banyak panti pijat dan bisa diorder lewat aplikasi online. Aku yakin penjual es dongdong keliling kampung pun kehilangan pelanggan sebab ada es krim dengan banyak pilihan rasa di mal maupun super market.

Seabreg romantisme masa lalu, kini hanya tinggal kenangan.  Sebaliknya banyak serangan "label kekinian" menyerbu sudut-sudut desa. Ada laundry, barber shop, caf, mini market yang bertebaran. 

Semua itu tak dapat disalahkan karena keterpencilan desa sudah direkatkan (diluluh-lantakan) oleh tiang-tiang besi milik provider serat optik jaringan internet yang masuk tanpa permisi. 

Anak-anak desa tak lagi mengenal gending Rujak Jeruk, Ladrang Asmaradana Rinengga, Kodok Ngorek, sebab mereka lebih akrab menyanyikan lagu Aja Dibanding-bandingke, Rungkad, dan Buih Jadi Permadani yang mereka dengar dari YuoTube atau Sportify.

Kampung halamanku, menjelang tahun politik 2024, aku berharap semua berjalan damai. Adem ayem. Tidak ada lagi gontok-gontokan saat iring-iringan kampanye mengular. Tidak perlu adu mulut dan bersitegang bahwa si Polan lebih baik dari si Waru.  Bukankah baik buruknya seseorang baru kita ketahui setelah mereka diberi jabatan? Sebelum memegang jabatan, mereka hanya pandai mengumbar janji. 

Ah, sudahlah, yang penting kita harus menjaga kebersamaan dalam konteks perseduluran sak lawase. Kalau menang ya tak perlu sombong. Kalau kalah ya gedhe rekasane, e, wekasane.

Akhirnya, tetaplah engkau menjadi kampung halaman yang dirindukan banyak orang. Tetaplah wargamu nrima berdiam di rumah masing-masing sambil rengeng-rengeng melagukan Walang Kekek milik Waljinah saat ratusan orang dari luar kota membajiri Malioboro dan Titik Nol Kilometer.

Sisi lain kampung halamanku/Foto: Hermard
Sisi lain kampung halamanku/Foto: Hermard
Kampung halamanku, aku bersyukur saat Joko Pinurbo menuliskan bahwa engkau terbuat dari (rasa) rindu, (keinginan) pulang, dan (romantisme) angkringan. Tak usahlah terlalu dipikirkan publikasi data  Badan Pusat Statistik bulan September 2022 yang menyatakan bahwa Yogyakarta merupakan provinsi termiskin di pulau Jawa. Kenyataannya penduduk di bumi Mataram merasa bahagia, nyadong dawuh saking ingkang Sinuwun-menunggu petunjuk dari sang Raja dalam konteks manunggaling kawula lan gusti.

Salam seribu bunga, sehangat matahari dari murid abadi kehidupan.

Tertanda,
Herry Mardianto

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun