Kepada Kampung Halamanku, Yogyakarta
Selamat pagi kampung halamanku, semoga kabarmu baik-baik saja. Tidak terganggu dengan macetnya jalanan saat orang-orang mudik lebaran atau menikmati libur panjang. Tidak ternodai oleh biaya parkir liar yang waton ngawur sehingga mencoreng nama baikmu.Â
Semoga engkau tidak lagi digelisahkan oleh peristiwa klithih yang membabi buta dan membuat suasana tengah malam  menjadi "ngeri-ngeri sedap".
Aku tahu, romantismemu tinggal suasana redup angkringan dipenuhi seloroh ngalor-ngidul pelanggan yang begitu akrab menikmati sego kucing, wedang jahe, sate usus, dan ceker. Sedangkan romantisme masa lalu: pentas kethoprak, karawitan, wayang kulit, tinggal ada di sejengkal tanah perdikan kebudayaan di desa-desa.Â
Kalaupun di gedung-gedung kesenian masih ada pertunjukkan kesenian tradisional srandul, wayang wong, wayang beber, dan lainnya, semua lebih beraroma nguri-nguri kabudayan jawa dengan anggaran belanja instansi pemerintah. Semangat bela tradisi, lama-kelamaan kian luntur, jauh dari rasa handarbeni.
Tapi aku berusaha memahami situasimu, kampung halamanku. Bukankah tarik ulur antara nilai-nilai tradisi dan modernisasi memang terjadi di mana-mana? Terlebih engkau adalah kota pariwisata, kota pelajar yang terus berdetak, bersolek, dan bergerak maju sesuai tuntutan zaman?Â
Tak salah jika di berbagai sudut kotamu muncul puluhan kafe, gerai makanan cepat saji, Â mal, super market, kawasan elite dilengkapi pengamanan CCTV.Â
Sementara di sisi lain, orang masih suka ngobrol di warung-warung kopi tubruk, pangkas rambut di bawah pohon waru, belanja di pasar tradisional, berkumpul di pos ronda/pos kamling seadanya untuk menjaga keamanan kampung.
Sekarang, gerobak sapi tak akan melintas di jalan-jalan protokol sebab dianggap mengganggu dan akan menyebabkan kemacetan. Sekarang di Jalan Diponegoro tak ada lagi tukang pijat lewat dengan bunyi "kencreng-kencreng!" sebab sudah berdiri banyak panti pijat dan bisa diorder lewat aplikasi online. Aku yakin penjual es dongdong keliling kampung pun kehilangan pelanggan sebab ada es krim dengan banyak pilihan rasa di mal maupun super market.
Seabreg romantisme masa lalu, kini hanya tinggal kenangan. Â Sebaliknya banyak serangan "label kekinian" menyerbu sudut-sudut desa. Ada laundry, barber shop, caf, mini market yang bertebaran.Â