Lewat pesan WhatsApp, Mas Ons Utoro mengingatkan,Â
"Aja lali tanggal 15 April, jam 15.00, peluncuran buku Wit Tanjung Ngiringan Omah bersama Sastra Bulan Purnama di Museum Sandi, Yogyakarta."
Peluncuran buku terbitan Interlude itu sekaligus merupakan acara buka bersama bagi pandemen sastra Jawa. Â Â
Entah mengapa, peluncuran buku sastra Jawa justeru diadakan di museum, padahal persis di sebelahnya ada gedung instansi pemerintah yang bertanggung jawab mengurusi perkembangan dan pengembangan sastra, termasuk sastra Jawa. Â
Peluncuran buku diisi dengan testimoni yang disampaikan oleh Landung Simatupang, Nugroho, dan Dhanu Priyo Prabowo. Dilanjutkan pembacaan tiga cerita dalam Wit Tanjung Ngiringan Omah oleh Lia, Patah Ansori, dan Mas Landung bersama teman-teman pandemen sastra Jawa.
Sebelumnya Bu Ageng Cicit mengungkap proses kreatifnya menulis.
"Saya trauma dan takut menulis saat Orde Baru. Saya takut diciduk. Cerita Wit Tanjung Ngiringan Omah bukan sekadar imajinasi. Itu merupakan kisah sejati, berkaitan dengan sejarah," jelasnya terharu.
Cerita Wit Tanjung Ngiringan Omah berkisah tentang tokoh perempuan bernama Dhatu yang mendapat perlakuan semena-mena karena ia dituduh sebagai anggota Gerwani/PKI. Bahkan ia sampai diperkosa oleh sipir penjara. Dua cerita lainnya juga tak lepas dari peristiwa sejarah, yaitu Rajasa Sang Amurwa Bhumi, dan Rakai Warak.
Bagi Landung Simatupang, Bu Ageng Cicit tidak pernah mau menjadi tawanan masa lalu. Keunikan lainnya, Bu Cicit tidak saja mengenal baik jawa keraton (priyayi), tetapi juga menghayati  tek kliwer jawa ndeso (ndesit). Penulis ini bergerak di antara dunia realitas dan wisik (apa pun maknanya).
"Kehebatan Bu Cicit karena ia bisa menemukan nama-nama tokoh yang unik, bukan dicari-cari. Membaca cerita dalam Wit Tanjung Ngiringan Omah, berarti kita membaca  kesaksian Bu Cicit tentang sejarah," jelas Dhanu Priyo Prabowo dalam testimoninya.
Kelahiran buku ini tak lepas dari ketertarikan Endah Sr, remaja pandemen sastra Jawa, yang merasakan kelebihan  dalam karya-karya Bu Cicit. Bentuknya menyerupai naskah drama, berisi dialog antara beberapa tokoh. Upaya menerbitkan dalam bentuk cerita mendapat sambutan Cak Kandar (penerbit Interlude).