Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Kebersamaan Bukber di Bawah Pohon Tanjung Samping Rumah

15 April 2023   21:38 Diperbarui: 16 April 2023   04:14 1590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mas Ons Utoro dan Bu Cicit/Foto: Hermard

Lewat pesan WhatsApp, Mas Ons Utoro mengingatkan, 

"Aja lali tanggal 15 April, jam 15.00, peluncuran buku Wit Tanjung Ngiringan Omah bersama Sastra Bulan Purnama di Museum Sandi, Yogyakarta."

Peluncuran buku terbitan Interlude itu sekaligus merupakan acara buka bersama bagi pandemen sastra Jawa.   

Entah mengapa, peluncuran buku sastra Jawa justeru diadakan di museum, padahal persis di sebelahnya ada gedung instansi pemerintah yang bertanggung jawab mengurusi perkembangan dan pengembangan sastra, termasuk sastra Jawa.  

Testimoni Landung Simatupanh dan Dhanu PP/Foto: Hermard
Testimoni Landung Simatupanh dan Dhanu PP/Foto: Hermard
Peluncuran buku diisi dengan testimoni yang disampaikan oleh Landung Simatupang, Nugroho, dan Dhanu Priyo Prabowo. Dilanjutkan pembacaan tiga cerita dalam Wit Tanjung Ngiringan Omah oleh Lia, Patah Ansori, dan Mas Landung bersama teman-teman pandemen sastra Jawa.

Wit Tanjung Ngiringan Omah/Foto: dokpri Cak Kandar
Wit Tanjung Ngiringan Omah/Foto: dokpri Cak Kandar
Sebelumnya Bu Ageng Cicit mengungkap proses kreatifnya menulis.

"Saya trauma dan takut menulis saat Orde Baru. Saya takut diciduk. Cerita Wit Tanjung Ngiringan Omah bukan sekadar imajinasi. Itu merupakan kisah sejati, berkaitan dengan sejarah," jelasnya terharu.

Cerita Wit Tanjung Ngiringan Omah berkisah tentang tokoh perempuan bernama Dhatu yang mendapat perlakuan semena-mena karena ia dituduh sebagai anggota Gerwani/PKI. Bahkan ia sampai diperkosa oleh sipir penjara. Dua cerita lainnya juga tak lepas dari peristiwa sejarah, yaitu Rajasa Sang Amurwa Bhumi, dan Rakai Warak.

Bagi Landung Simatupang, Bu Ageng Cicit tidak pernah mau menjadi tawanan masa lalu. Keunikan lainnya, Bu Cicit tidak saja mengenal baik jawa keraton (priyayi), tetapi juga menghayati  tek kliwer jawa ndeso (ndesit). Penulis ini bergerak di antara dunia realitas dan wisik (apa pun maknanya).

Pembacaan Wit Tanjung Ngiringan Omah/Foto: Hermard
Pembacaan Wit Tanjung Ngiringan Omah/Foto: Hermard
"Kehebatan Bu Cicit karena ia bisa menemukan nama-nama tokoh yang unik, bukan dicari-cari. Membaca cerita dalam Wit Tanjung Ngiringan Omah, berarti kita membaca  kesaksian Bu Cicit tentang sejarah," jelas Dhanu Priyo Prabowo dalam testimoninya.

Kelahiran buku ini tak lepas dari ketertarikan Endah Sr, remaja pandemen sastra Jawa, yang merasakan kelebihan  dalam karya-karya Bu Cicit. Bentuknya menyerupai naskah drama, berisi dialog antara beberapa tokoh. Upaya menerbitkan dalam bentuk cerita mendapat sambutan Cak Kandar (penerbit Interlude).

Cak Kandar: Tentang Buku (Bahasa) Jawa

Dalam kurun tujuh tahun terakhir, Cak Kandar, penjaga gawang penerbit Interlude, gliyak-gliyak ngopeni penerbitan buku sastra Jawa. Menurut Cak Kandar, setidaknya ada dua nama yang layak disebut dalam upaya kecil menerbitkan buku sastra Jawa. Kedua nama itu tak lain Iman Budhi Santosa dan Djajus Pete. Iman Budhi Santosa (IBS) secara tersirat lewat beberapa obrolan seperti menggiring Interlude untuk mencoba menggarap karya sastra Jawa.

Jauh di tahun sebelumnya, krenteg Cak Kandar untuk membaca sastra Jawa adalah pertemuannya dengan sosok Djajus Pete. Karya Djajus sudah diakrabi di panggung Bincang-Bincang Sastra Studio Pertunjukan Sastra (SPS) pada tahun 2010.

Buku kumpulan cerita Wit Tanjung Ngiringan Omah (Bu Ageng Cicit) diterbitkan Interlude (2023), tidak sekadar untuk nguri-nguri satra/budaya Jawa.

"Kami menerbitkannya dalam rangka saderma ajar nandur wiji keli. Demikianlah, tak bosan-bosan kami "rengeng-rengengke" dalam upaya neruske laku, ajar olah tetanen buku," jelas Cak Kandar.

Diterangkan lebih jauh, meskipun buku Wit Tanjung Ngiringan Omah hanya berisi tiga cerita, namun pikiran dan imaji pembaca akan diajak melancong pada kurun waktu yang cukup jauh. Dari zaman geger 1965 ke geger Tumapel, lalu menyusuri kehidupan para rakai di zaman Mataram Kuno. Tentang perempuan bernama Dhatu, Selirang dan Arok, juga tentang Rakai Warak.

"Buku ini memuat tiga cerita dalam tarikan napas yang begitu panjang," jelas Cak Kandar.

Buka puasa bersama/Foto: Hermard
Buka puasa bersama/Foto: Hermard
Acara peluncuran di akhiri saat suara azan magrib terdengar sayup-sayup dari masjid Syuhada. Halaman Museum Sandi  berubah menjadi ajang silaturahmi buka puasa bersama penuh keakraban antara seniman sastra Jawa tanpa batas sekat agama. 

Kesenian mempersatukan kami buka puasa bersama di bawah pohon tanjung samping rumah. Begitulah indahnya ramadan adalah kehendak saling berbagi dengan sesama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun