Kendati telah berkuasa di Hindia sejak abad ke-16 pemerintah kolonial Belanda baru memikirkan kemajuan rakyat jajahannya pada pertengahan abad ke-19. Bentuk pemikiran itu terealisasikan pada tahun 1848 ketika pemerintah kolonial Belanda mendapat kepercayaan dari Raja Belanda untuk mengelola dana pembangunan sekolah bagi pribumi di Jawa sebesar 25.000 gulden setiap tahun.Â
Pembangunan sekolah  terutama untuk para priayi yang akan dijadikan pegawai pemerintah demi kepentingan eksploitasi kolonial. Selain itu, pada tahun 1867 didirikan Departemen Pendidikan dalam birokrasi negara kolonial yang ditugasi menangani dana pendidikan, dialokasikan pada tahun 1882 mencapai  250.000 gulden per tahun.
Pembangunan dan pengelolaan sekolah oleh pemerintah itulah yang  pada gilirannya melahirkan kaum terdidik - tinggal di kota-kota - mampu membaca, menulis, dan menyerap budaya modern dari Barat (Eropa, Belanda). Bersamaan dengan itu, lahir  kaum terdidik yang lain, yaitu golongan masyarakat Indo-Belanda dan Timur Asing, terutama masyarakat Tionghoa (Cina).Â
Lahirnya kaum terdidik ini bukan akibat dari pendidikan yang diusahakan oleh pemerintah kolonial, melainkan secara mandiri (otodidak). Mereka mempelajari beragam budaya modern karena dalam kehidupan sehari-hari harus bermasyarakat dengan penduduk kota yang terdiri atas kaum Belanda, Indo-Belanda, dan priayi terpelajar. Oleh karena itu, lahirnya kedua jenis kaum terdidik tersebut  membentuk suatu masyarakat baru yang memiliki dasar budaya modern.
Dengan terbentuknya suatu masyarakat baru, tuntutan-tuntutan baru sesuai dengan lingkungan dan kebutuhan budayanya pun timbul.Â
Salah satu dari sekian banyak tuntutan itu ialah harus diadakannya bacaan- bacaan modern (baru) -  salah satu di antaranya  bacaan sastra. Karena itu, wajar apabila karya sastra "modern" lahir sekitar pertengahan abad ke-19. Karya sastra yang lahir pada masa itu kemudian berkembang dengan baik karena ditunjang oleh perkembangan penerbitan yang diusahakan oleh orang Belanda, Cina, dan pribumi.Â
Melalui berbagai penerbitan itu pada awalnya diterbitkan cerita-cerita bersambung dari hasil terjemahan dan saduran karya-karya Barat dan Cina. Dengan diumumkannya karya-karya tersebut, berarti masyarakat telah berkenalan dengan bacaan-bacaan modern  (berwujud karya sastra).Â
Perkenalan ini merangsang masyarakat modern untuk mencoba menulis sastra. Itulah sebabnya pada tahun 1896 lahirlah roman-roman asli. Karya-karya (roman) asli selanjutnya berkembang subur sejak tahun 1900-an.
Pada pertengahan abad ke-19, karya-karya yang lahir dari para pengarang Cina jauh lebih banyak dibandingkan dengan karya- karya pengarang Indo Belanda.Â
Salmon mencatat bahwa sejak tahun 1870 hingga tahun 1970 telah terbit 3005 karya yang terdiri atas 73 sandiwara, 183 syair. 233 terjemahan karya-karya Barat, 759 terjemahan karya-karya Cina, dan 1398 karya roman dan cerpen asli. Karya-karya yang seluruhnya berbahasa Melayu Rendah inilah yang akhirnya menimbulkan kekhawatiran pemerintah kolonial Belanda.Â
Kekhawatiran itu timbul karena pemerintah menganggap bahwa karya- karya tersebut cenderung mengarah kepada sex and violence atau cerita pergundikan, kejahatan, cabul, dan sebagainya yang dapat mengakibatkan dekandensi moral, agama, dan politik (Sumardjo dan Setiadi).Â
Selain itu, kekhawatiran timbul pula karena pemerintah beranggapan bahwa bahasa yang layak dipergunakan oleh kaum pendidik bukan bahasa Melayu Rendah, melainkan bahasa Melayu Tinggi. Untuk mengantisipasi kekhawatiran tersebut, pada tanggal 14 September 1908 pemerintah kolonial membentuk Comissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur (Komisi untuk Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat).Â
Komisi yang sesuai dengan salah satu program politik etis yang dicanangkan sejak tahun 1901 (Nugroho, 1990) ini diketuai oleh G.A.J. Hazeu, yang dua tahun kemudian (1910) digantikan oleh D.A. Rinkes. Karya-karya yang diterbitkan ialah cerita rakyat, cerita wayang, hikayat lama, cerita-cerita teladan, dan sejenisnya.Â
Tujuan diterbitkannya karya-karya itu  agar masyarakat tidak memperoleh bacaan (modern)  berbahaya dan mereka dapat terhindar dari "bacaan liar"  dari  penerbit swasta yang oleh Rinkes disebut "saudagar kitab yang kurang suci hatinya" atau "agitator" (Pamoentjak, Damono).Â
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penerbitan bacaan (karya sastra) oleh komisi tersebut tidak berdasarkan pertimbangan estetis, tetapi lebih bersifat politis dengan maksud mencegah perkembangan pengetahuan dan pemahaman  menyesatkan bagi kaum terdidik pribumi.Â
Itulah sebabnya, untuk penerbitan suatu karya (bacaan, termasuk sastra), komisi tersebut mengajukan tiga syarat pokok. yaitu (1) tidak mengandung unsur anti pemerintah kolonial, (2) tidak menyinggung perasaan dan etika golongan masyarakat tertentu, dan (3) tidak menyinggung perasaan suatu agama tertentu.Â
Tiga persyaratan tersebut kemudian lebih dikenal dengan Nota Rinkes. Nota Rinkes  masih terus berlaku meskipun pada tahun 1917 nama komisi telah diubah menjadi Kantor Bacaan Rakyat (Kantoor voor Volkslectuur) atau Balai Pustaka
Meskipun pemerintah kolonial telah mengeluarkan kebijakan tertentu dalam penerbitan bacaan (sastra), para penerbit swasta masih tetap aktif menerbitkan buku-buku berbahasa Melayu Rendah bagi masyarakat.Â
Melalui penerbit swasta itu pengarang merasa lebih bebas berkspresi dan lebih leluasa mengeluarkan gagasannya sesuai dengan selera pembaca Oleh karena itu, bersamaan waktu dengan terbitnya buku-buku sastra oleh Balai Pustaka, terbit pula buku-buku sastra lain dari Goan Hong & Co (Batavia. Jakarta). Drukkerij "Economy" (Bandung), Paragon (malang), Swastika (Surakarta), Drukkerij V.S.T.P. (Semarang). Syaiful, Tjerdas dan Boekhandel Indische Drukkerij (Medan), dan sebagainya.
Pengarangnya pun tidak hanya orang-orang Cina, tetapi juga orang-orang pribumu atau Indonesia asli. Karya-karya yang terbit pada masa itu antara lain Tjerita Si Riboet (1917) karya Tan Boen Kim, Nyai Marsina (1923) karya Nama, Boenga Roos dari Tjikembang (1927) dan Drama dari Krakatau (1929) karya Kwee Tek Hoaij, Studen Hidjo (1919) dan Rasa Merdika (Hikayat Soedjanmo) (1924) karya Mas Marco Kartodikrama.
Kenyataan menunjukkan bahwa sebagaian dari karya-karya itu tidak kalah populer apabila dibandingkan dengan karya-karya terbitan Balai Pustaka. Hal itu berarti karya-karya di laur penerbitan Balai Pustaka berperan penting dalam sejarah perkembangan sastra Indonesia modern
Telah disebutkan bahwa karya sastra terbitan pihak swasta telah berkembang sejak pertengahan abad ke-9. Karya-karya tersebut, baik yang berbahasa Melayu Rendah (Melayu Tionghoa. Melayu Betawi) maupun berbahasa Melayu Tinggi (Melayu Riau) tetap hidup sampai menjelang kemerdekaan. Jika dikalkulasikan, karya-karya yang terbit mencapai ribuan buah. Â (Herry Mardianto & Tirto Suwondo).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H