Selain itu, kekhawatiran timbul pula karena pemerintah beranggapan bahwa bahasa yang layak dipergunakan oleh kaum pendidik bukan bahasa Melayu Rendah, melainkan bahasa Melayu Tinggi. Untuk mengantisipasi kekhawatiran tersebut, pada tanggal 14 September 1908 pemerintah kolonial membentuk Comissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur (Komisi untuk Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat).Â
Komisi yang sesuai dengan salah satu program politik etis yang dicanangkan sejak tahun 1901 (Nugroho, 1990) ini diketuai oleh G.A.J. Hazeu, yang dua tahun kemudian (1910) digantikan oleh D.A. Rinkes. Karya-karya yang diterbitkan ialah cerita rakyat, cerita wayang, hikayat lama, cerita-cerita teladan, dan sejenisnya.Â
Tujuan diterbitkannya karya-karya itu  agar masyarakat tidak memperoleh bacaan (modern)  berbahaya dan mereka dapat terhindar dari "bacaan liar"  dari  penerbit swasta yang oleh Rinkes disebut "saudagar kitab yang kurang suci hatinya" atau "agitator" (Pamoentjak, Damono).Â
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penerbitan bacaan (karya sastra) oleh komisi tersebut tidak berdasarkan pertimbangan estetis, tetapi lebih bersifat politis dengan maksud mencegah perkembangan pengetahuan dan pemahaman  menyesatkan bagi kaum terdidik pribumi.Â
Itulah sebabnya, untuk penerbitan suatu karya (bacaan, termasuk sastra), komisi tersebut mengajukan tiga syarat pokok. yaitu (1) tidak mengandung unsur anti pemerintah kolonial, (2) tidak menyinggung perasaan dan etika golongan masyarakat tertentu, dan (3) tidak menyinggung perasaan suatu agama tertentu.Â
Tiga persyaratan tersebut kemudian lebih dikenal dengan Nota Rinkes. Nota Rinkes  masih terus berlaku meskipun pada tahun 1917 nama komisi telah diubah menjadi Kantor Bacaan Rakyat (Kantoor voor Volkslectuur) atau Balai Pustaka
Meskipun pemerintah kolonial telah mengeluarkan kebijakan tertentu dalam penerbitan bacaan (sastra), para penerbit swasta masih tetap aktif menerbitkan buku-buku berbahasa Melayu Rendah bagi masyarakat.Â
Melalui penerbit swasta itu pengarang merasa lebih bebas berkspresi dan lebih leluasa mengeluarkan gagasannya sesuai dengan selera pembaca Oleh karena itu, bersamaan waktu dengan terbitnya buku-buku sastra oleh Balai Pustaka, terbit pula buku-buku sastra lain dari Goan Hong & Co (Batavia. Jakarta). Drukkerij "Economy" (Bandung), Paragon (malang), Swastika (Surakarta), Drukkerij V.S.T.P. (Semarang). Syaiful, Tjerdas dan Boekhandel Indische Drukkerij (Medan), dan sebagainya.
Pengarangnya pun tidak hanya orang-orang Cina, tetapi juga orang-orang pribumu atau Indonesia asli. Karya-karya yang terbit pada masa itu antara lain Tjerita Si Riboet (1917) karya Tan Boen Kim, Nyai Marsina (1923) karya Nama, Boenga Roos dari Tjikembang (1927) dan Drama dari Krakatau (1929) karya Kwee Tek Hoaij, Studen Hidjo (1919) dan Rasa Merdika (Hikayat Soedjanmo) (1924) karya Mas Marco Kartodikrama.
Kenyataan menunjukkan bahwa sebagaian dari karya-karya itu tidak kalah populer apabila dibandingkan dengan karya-karya terbitan Balai Pustaka. Hal itu berarti karya-karya di laur penerbitan Balai Pustaka berperan penting dalam sejarah perkembangan sastra Indonesia modern
Telah disebutkan bahwa karya sastra terbitan pihak swasta telah berkembang sejak pertengahan abad ke-9. Karya-karya tersebut, baik yang berbahasa Melayu Rendah (Melayu Tionghoa. Melayu Betawi) maupun berbahasa Melayu Tinggi (Melayu Riau) tetap hidup sampai menjelang kemerdekaan. Jika dikalkulasikan, karya-karya yang terbit mencapai ribuan buah. Â (Herry Mardianto & Tirto Suwondo).