Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Tradisi Pilihan

Sarung

29 Maret 2023   07:28 Diperbarui: 29 Maret 2023   14:10 889
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sarung/Foto: Hermard

Di bawah kibaran sarung anak-anak berangkat tidur
ke haribaan malam.
Tidur mereka seperti tidur yang baka.
Tidur yang dijaga dan disambangi seorang lelaki kurus
dengan punggung melengkung, mata yang dalam dan cekung.
"Hidup orang miskin!" pekiknya sambil membentangkan sarung
. (Penggalan puisi Di Bawah Kibaran Sarung -- Joko Pinurbo)

Belakangan ini "kebaikan" sarung ternodai oleh sekelompok remaja yang memodifikasi kain sarung menjadi  alat tawuran atau dipakai sebagai pembungkus senjata tajam demi mengelabuhi petugas.

Menurut Widi Wahyuning Tyas (2021), awalnya, di Indonesia, sarung diterima dan dipakai umat muslim  di pesisir pantai. Dalam perkembangan berikutnya sarung  identik dengan kebudayaan Islam, dikenakan para santri.

Meskipun begitu, sarung  bisa dikenakan oleh siapa saja, baik pria maupun wanita. Di wilayah Sumatera, wanita biasanya mengenakan sarung dengan motif flora/tumbuh-tumbuhan. Sedangkan kaum pria mengenakan sarung motif kotak-kotak atau garis-garis.

Dilansir dari laman Kemendikbud, sarung muncul di Indonesia sejak abad ke-14,  dibawa oleh para pedagang Arab dan India. Berdasarkan catatan sejarah, sarung berasal dari Yaman yang terkenal dengan sebutan futah.

Harkat dan Martabat Sarung
Sarung sebagai identitas budaya dan keagamaan, selayaknya tidak digunakan untuk perbuatan tercela, melainkan  ditempatkan sebagai sesuatu yang berharga sehingga patut dijunjung tinggi. 

Jangan sampai sarung kehilangan harga diri seperti pada zaman kolonial karena sarung dianggap sebagai simbol orang primitif, terbelakang oleh orang-orang Belanda. Pemerintah Belanda  lalu mewajibkan penduduk mengenakan baju dan celana panjang.

Serendah-rendahnya penghargaan terhadap sarung, biarlah ia digunakan sebagai pakaian santai di rumah dipadukan dengan kaos oblong, teman ronda untuk mengusir dingin malam, di pakai dalam sepak bola demi merayakan kemerdekaan RI, dimanfaatkan ibu-ibu  mengayun atau menggendong/menidurkan bayi.

Pada tahun 1970-an, masyarakat Kuala Tungkal, Jambi, sudah menempatkan sarung  sesuai dengan harkat dan fungsinya. Dapat dipastikan, mereka   memakai kain sarung dilengkapi peci (songkok) jika masuk ke masjid atau surau. 

Saat itu tidak ada yang berani masuk ke masjid mengenakan celana panjang. Dalam semaan tadarusan, belajar membaca turutan di rumah guru ngaji, anak-anak  juga wajib mengenakan sarung.   Mengenakan sarung untuk kegiatan ibadah sudah menjadi tradisi di daerah pasang surut itu.

Situasi ini berbeda dengan kenyataan di Jawa (Yogyakarta). Ketika bertandang ke Yogyakarta pada tahun 1976 dan saat ke masjid, saya mendapati tidak semua jamaah/makmum mengenakan sarung plus peci. Mereka memakai kemeja dan celana panjang tanpa merasa canggung. Ya, saat mengalami kejadian itu, saya sempat terkejut. Untungnya langsung teringat pada pepatah bijak: lain ladang, lain pula belalangnya atau dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.

Tradisi Bersarung
Di daerah Sumatera Selatan dan Padang, sarung Songket  merupakan sarung khusus,  dipakai dalam  tradisi upacara pernikahan atau upacara adat dan penyambutan tamu. Begitu juga sarung Tapis di Lampung, dikenakan dalam acara-acara tertentu.

Di Sumba Timur,  sarung mampu membedakan kedudukan dan kelas sosial seseorang. Sarung dengan motif yang rumit, berwarna cerah, disulam memakai benang perak atau emas, diperuntukan bagi bangsawan. Sedangkan rakyat biasa hanya boleh mengenakan sarung satu atau dua warna dengan pola sederhana/polos.

Penghargaan terhadap sarung  dilakukan pemerintah dengan upaya Presiden Jokowi menetapkan Hari Sarung Nasional pada 3 Maret 2019 dalam acara Sarung Fest di kawasan Gelora Bung Karno, Jakarta. Tujuannya agar masyarakat memiliki kesadaran bahwa sarung merupakan kekayaan budaya bangsa.

Ironisnya, meskipun sarung sudah menjadi bagian dari masyarakat Indonesia, tapi perayaan Hari Sarung Nasional, kalah pamor dibandingkan dengan Hari Batik Nasional yang dirayakan sebagian besar rakyat Indonesia setiap tanggal 2 Oktober sejak tahun 2009.

Sudahkan Anda menyiapkan sarung terbaik untuk melaksanakan salat Idul Fitri tahun ini?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Tradisi Selengkapnya
Lihat Tradisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun