Situasi ini berbeda dengan kenyataan di Jawa (Yogyakarta). Ketika bertandang ke Yogyakarta pada tahun 1976 dan saat ke masjid, saya mendapati tidak semua jamaah/makmum mengenakan sarung plus peci. Mereka memakai kemeja dan celana panjang tanpa merasa canggung. Ya, saat mengalami kejadian itu, saya sempat terkejut. Untungnya langsung teringat pada pepatah bijak: lain ladang, lain pula belalangnya atau dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.
Tradisi Bersarung
Di daerah Sumatera Selatan dan Padang, sarung Songket  merupakan sarung khusus,  dipakai dalam  tradisi upacara pernikahan atau upacara adat dan penyambutan tamu. Begitu juga sarung Tapis di Lampung, dikenakan dalam acara-acara tertentu.
Di Sumba Timur, Â sarung mampu membedakan kedudukan dan kelas sosial seseorang. Sarung dengan motif yang rumit, berwarna cerah, disulam memakai benang perak atau emas, diperuntukan bagi bangsawan. Sedangkan rakyat biasa hanya boleh mengenakan sarung satu atau dua warna dengan pola sederhana/polos.
Penghargaan terhadap sarung  dilakukan pemerintah dengan upaya Presiden Jokowi menetapkan Hari Sarung Nasional pada 3 Maret 2019 dalam acara Sarung Fest di kawasan Gelora Bung Karno, Jakarta. Tujuannya agar masyarakat memiliki kesadaran bahwa sarung merupakan kekayaan budaya bangsa.
Ironisnya, meskipun sarung sudah menjadi bagian dari masyarakat Indonesia, tapi perayaan Hari Sarung Nasional, kalah pamor dibandingkan dengan Hari Batik Nasional yang dirayakan sebagian besar rakyat Indonesia setiap tanggal 2 Oktober sejak tahun 2009.
Sudahkan Anda menyiapkan sarung terbaik untuk melaksanakan salat Idul Fitri tahun ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H