Aku merasa beruntung memiliki pendamping yang tak suka pamer kekayaan. Ibu negara Omah Ampiran merupakan perempuan tangguh yang sejak kanak-kanak biasa hidup sederhana. Kedua orang tuanya yang berprofesi sebagai guru, menjalani hidup dengan apa adanya dalam bingkai kena digugu lan ditiru (dapat dipercaya dan dijadikan teladan).Â
Bimbingan dari kedua orang tuanya inilah yang menyebabkan ibu negara Omah Ampiran terbiasa hidup sederhana, sakmadya, nrima ing pandum.
Sesaat setelah  menikah pun, ia tak keberatan aku ajak hidup menumpang di rumah tabon, di tengah kota Yogyakarta. Baru setelah empat tahun usia pernikahan, pada tahun 1999, kami pindah ke kompleks perumahan di desa yang berjarak tiga belas kilometer dari kota.  Artinya setiap pulang -- pergi, setidaknya kami menempuh perjalanan enam belas kilometer.
Celaka lagi sesaat sebelum serah terima, kami harus membayar kelebihan tanah yang besarannya melebihi uang muka.Â
Sebagai PNS golongan tiga A, dengan gaji seputaran satu juta (kala itu), harus menyiapkan uang tujuh juta dalam jangka dua bulan. Duh, gusti!Â
Jalan keluarnya tentu dengan menambah pinjaman ke koperasi dan mreteli barang-barang yang bisa dijual. Artinya potongan uang gaji pun menjadi lebih besar. Situasi ini juga yang membuat beberapa kali pembayaran angsuran menjadi terlambat. Pengencangan ikat pinggang diterapkan.
Sudah terbayang dengan jelaskan kalau perumahan yang kami tempati, bukan klaster dengan fasilitas one gate system, pengamanan 24 jam, ada kamera CCTV, swimming pool, area gym, ruang spa, jogging track...semua terusir dari angan-angan.
Kompleks perumahan yang kami tempati  berada di tengah desa. Terdiri dari seratus lebih rumah dengan tiga akses jalan  terbuka untuk umum dan lampu penerangan jalan sangat minimalis. Pos ronda pun selalu berpindah-pindah menempati rumah kosong.Â
Tak usah berharap CCTV, jogging track, apalagi kolam renang. Tak ada toko swalayan. Keperluan sehari-hari didapatkan di warung kelontong atau tukang sayur keliling.
Jika musim kemarau tiba, maka abu dari tobong tempat pembuatan dan pembakaran batu bata merah di sisi utara perumahan, berterbangan. Sebaliknya, saat musim hujan tiba, maka bau kandang sapi dan kandang ayam di sisi selatan perumahan, sesekali aromanya tercium. Pasti lalat akan berterbangan sesuka hati masuk ke rumah-rumah.
Saat itu anak-anak masih sekolah di kota, dekat rumah tabon. Ibu negara Omah Ampiran jadi tukang ojek dengan motor butut antar jemput anak-anak. Artinya setiap hari harus menempuh perjalanan enam belas kilometer. Tentu saja waktu dan tenaganya habis di jalan.
Kami benar-benar harus berhemat  agar kebutuhan bulanan tercukupi. Jika ada rezeki berlebih, saya simpan diam-diam untuk memberikan kejutan anak-anak membeli baju lebaran. Atau sesekali mengajak ibu negara Omah Ampiran jajan bakso atau soto di warung pinggir jalan, bukan di restoran atau kafe.
Begitulah, isteri tak perlu pengakuan dari teman-temannya. Ia cukup enjoy di tengah anak-anak tercinta, menghayati hidup dalam bingkai nrima ing padum dan ngeli ya ngeli ning aja nganthi keli.
Kami hanya biasa saling berbagi dengan tetangga, terlebih kalau ada teriakan dari depan rumah,
"Budhe, punya bawang merah?" sejurus kemudian ibu negara Omah Ampiran menggenggam bawang merah, diberikan ke tetangga seberang rumah.Â
Lain waktu ibu negara Omah Ampiran yang kehabisan beras dan ia berteriak. Sebentar kemudian tetangga depan rumah datang memberikan beras secukupnya.
Begitulah cara hidup kami  di perumahan wilayah pedesaan dengan lingkaran sosial yang tidak ingin dikagumi, tidak ingin tampil keren, dan tidak merasa superior.Â
Kami hanyalah wong cilik yang hidup dengan ajian mulur mungkret agar tetap bisa bertahan hidup serta menempuh jalan ana sethithik dipangan sethithik...
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI