Saat itu anak-anak masih sekolah di kota, dekat rumah tabon. Ibu negara Omah Ampiran jadi tukang ojek dengan motor butut antar jemput anak-anak. Artinya setiap hari harus menempuh perjalanan enam belas kilometer. Tentu saja waktu dan tenaganya habis di jalan.
Kami benar-benar harus berhemat  agar kebutuhan bulanan tercukupi. Jika ada rezeki berlebih, saya simpan diam-diam untuk memberikan kejutan anak-anak membeli baju lebaran. Atau sesekali mengajak ibu negara Omah Ampiran jajan bakso atau soto di warung pinggir jalan, bukan di restoran atau kafe.
Begitulah, isteri tak perlu pengakuan dari teman-temannya. Ia cukup enjoy di tengah anak-anak tercinta, menghayati hidup dalam bingkai nrima ing padum dan ngeli ya ngeli ning aja nganthi keli.
Maaf kalau kali ini kami hanya bisa pamer kesederhanaan. Sungguh kami tak punya mobil MG 5 GT Mannify seharga 400 juta lebih, emas batangan, outfit merek Kenzo, Channel, bisnis perumahan mewah, tas dan sepatu branded...untuk dipamerkan di media sosial.
Kami hanya biasa saling berbagi dengan tetangga, terlebih kalau ada teriakan dari depan rumah,
"Budhe, punya bawang merah?" sejurus kemudian ibu negara Omah Ampiran menggenggam bawang merah, diberikan ke tetangga seberang rumah.Â
Lain waktu ibu negara Omah Ampiran yang kehabisan beras dan ia berteriak. Sebentar kemudian tetangga depan rumah datang memberikan beras secukupnya.
Begitulah cara hidup kami  di perumahan wilayah pedesaan dengan lingkaran sosial yang tidak ingin dikagumi, tidak ingin tampil keren, dan tidak merasa superior.Â
Kami hanyalah wong cilik yang hidup dengan ajian mulur mungkret agar tetap bisa bertahan hidup serta menempuh jalan ana sethithik dipangan sethithik...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H