Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Pamer

23 Maret 2023   13:13 Diperbarui: 23 Maret 2023   14:03 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berumah di desa/Foto: Hermard

Aku merasa beruntung memiliki pendamping yang tak suka pamer kekayaan. Ibu negara Omah Ampiran merupakan perempuan tangguh yang sejak kanak-kanak biasa hidup sederhana. Kedua orang tuanya yang berprofesi sebagai guru, menjalani hidup dengan apa adanya dalam bingkai kena digugu lan ditiru (dapat dipercaya dan dijadikan teladan). 

Bimbingan dari kedua orang tuanya inilah yang menyebabkan ibu negara Omah Ampiran terbiasa hidup sederhana, sakmadya, nrima ing pandum.

Sesaat setelah  menikah pun, ia tak keberatan aku ajak hidup menumpang di rumah tabon, di tengah kota Yogyakarta. Baru setelah empat tahun usia pernikahan, pada tahun 1999, kami pindah ke kompleks perumahan di desa yang berjarak tiga belas kilometer dari kota.  Artinya setiap pulang -- pergi, setidaknya kami menempuh perjalanan enam belas kilometer.

Damainya desaku/Foto: Hermard
Damainya desaku/Foto: Hermard
Awalnya jarak bukan menjadi masalah karena dana yang kami miliki hanya bisa membeli perumahan di desa. Itu pun harus megap-megap kelimpungan karena untuk membayar uang muka saja, sebesar enam juta lebih, sebagian harus berhutang ke koperasi. Maklum saya hanya pegawai rendahan, bukan pejabat negara. 

Celaka lagi sesaat sebelum serah terima, kami harus membayar kelebihan tanah yang besarannya melebihi uang muka. 

Sebagai PNS golongan tiga A, dengan gaji seputaran satu juta (kala itu), harus menyiapkan uang tujuh juta dalam jangka dua bulan. Duh, gusti! 

Jalan keluarnya tentu dengan menambah pinjaman ke koperasi dan mreteli barang-barang yang bisa dijual. Artinya potongan uang gaji pun menjadi lebih besar. Situasi ini juga yang membuat beberapa kali pembayaran angsuran menjadi terlambat. Pengencangan ikat pinggang diterapkan.

Sudah terbayang dengan jelaskan kalau perumahan yang kami tempati, bukan klaster dengan fasilitas one gate system, pengamanan 24 jam, ada kamera CCTV, swimming pool, area gym, ruang spa, jogging track...semua terusir dari angan-angan.

Kompleks perumahan yang kami tempati  berada di tengah desa. Terdiri dari seratus lebih rumah dengan tiga akses jalan  terbuka untuk umum dan lampu penerangan jalan sangat minimalis. Pos ronda pun selalu berpindah-pindah menempati rumah kosong. 

Tak usah berharap CCTV, jogging track, apalagi kolam renang. Tak ada toko swalayan. Keperluan sehari-hari didapatkan di warung kelontong atau tukang sayur keliling.

Jika musim kemarau tiba, maka abu dari tobong tempat pembuatan dan pembakaran batu bata merah di sisi utara perumahan, berterbangan. Sebaliknya, saat musim hujan tiba, maka bau kandang sapi dan kandang ayam di sisi selatan perumahan, sesekali aromanya tercium. Pasti lalat akan berterbangan sesuka hati masuk ke rumah-rumah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun