Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Raja Monolog Butet Kertaredjasa

23 Maret 2023   04:25 Diperbarui: 23 Maret 2023   08:15 562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Butet Kertaredjasa (bahasa Jawa: Buthet Kertaredjasa), saudara kandung dari Djaduk Ferianto, lahir di Yogyakarta, 21 November 1961, merupakan anak kelima dari tujuh bersaudara keluarga seniman (pelukis dan koreografer) Bagong Kussudiardjo (almarhum). 

Dikenal sebagai seorang aktor atau pemeran teater, budayawan, pembawa acara, penulis, dan pelawak. Menikah dengan Rulyani Istihana (Kutai, Kalimantan Timur) dan dikaruniai tiga orang anak bernama Giras Basuwondo (1981), Suci Senanti (1988), dan Galuh Paskamagma (2010). 

Pendidikan formal yang ditempuh adalah Sekolah Menengah Seni Rupa/SMSR Yogyakarta (1978-1982), Jurusan Seni Lukis Fakultas Seni Rupa dan Desain ISI Yogyakarta (1982-1987, "drop out").

Butet merupakan seorang aktor yang biasa memerankan pentas secara monolog. Beberapa judul pentas monolognya adalah: (1) "Racun Tembakau" (1986), (2) "Lidah Pingsan" (1997), (3) "Lidah (Masih) Pingsan" (1998), (4) "Benggol Maling" (1998), (5) "Raja Rimba Jadi Pawang" (1999), (6) "Iblis Nganggur" (1999), (7) "Guru Ngambeg" (2000), dan (8) "Mayat Terhormat". 

Aksi pentasnya yang sangat terkenal adalah saat menirukan suara mantan presiden RI, Soeharto dalam pementasannya. Ia memerankan tokoh 'SBY' (Si Butet Yogya) dalam Republik Mimpi di Metro TV dan pindah tayang di TV One. 

Selain itu menjadi pemeran dalam film layar lebar, seperti Maskot dan Banyu Biru, juga tampil dalam beberapa iklan televisi, serta sinetron. Sejak tahun 2010, bersama aktor Slamet Rahardjo, Butet bermain dalam program mingguan Sentilan-Sentilun di Metro TV.

Aktif berteater mulai tahun 1978, antara lain pernah bergabung di Teater Kita-Kita (1977), Teater SSRI (1978-1981), Sanggar Bambu (1978-1981), Teater Dinasti (1982-1985), Teater Gandrik (1985- sekarang), Komunitas Pak Kanjeng (1993-1994), Teater Paku (1994), Komunitas Seni Kua Etnika (1995-sekarang). 

Pada tahun 1978-1992 menjadi sketcher (penggambar vignette) dan penulis freelance untuk liputan masalah-masalah sosial budaya dalam media lokal maupun nasional, seperti Kedaulatan Rakyat, Bernas, Kompas, Mutiara, Sinar Harapan, Hai, Merdeka, Topik, dan Zaman. 

Selain aktif sebagai pelukis dan pengamat seni rupa, Butet menulis esai budaya atau kolom (tentang masalah sosial budaya) di media massa cetak.

Sumber ide dalam bermain peran berasal dari ramuan berbagai sumber teori seni peran, termasuk mencoba membumikan Stanislavsky (Rusia) dalam rasa Jawa seperti yang dilakukan maestro-maestro kethoprak, antara lain Widayat, Sardjono, almarhum Tjokrojiyo, Rukiman, dan Basiyo. 

Baginya, kecenderungan para aktor Teater Gandrik adalah bermain-main "sebagai," bukan untuk bermain "menjadi". Bahkan, terkadang harus in-out, masuk keluar ke dalam sebuah peran. Ini adalah pilihan sadar untuk menemukan jalan keaktoran. 

Memainkan seni peran tidak sekedar melaksanakan perintah teks sastra (lakon), tetapi juga memunculkan greget-sengguh, mengekspresikan dialog dan memberi nyawa pada kata-kata. 

Seorang aktor juga seorang "pencipta"-bukan robot-nya sutradara atau penulis cerita. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun