Dalam buku Omah: Membaca Makna Rumah Jawa, Norberg Schulz, arsitek kawakan, menyatakan bahwa rumah berperan dalam mewujudkan posisi di dunia ini. Pendapat ini berkolerasi dengan makna rumah dalam budaya Jawa sebagai tempat metu, manten, dan mati (keluar, menikah, dan meninggal).
Saat harus meninggalkan rumah lama dua tahun lalu, di usia yang menua, saya dan keluarga memutuskan membeli tanah kapling. Alasannya tentu saja agar pengurusan surat-surat legalitasnya lebih mudah.Â
Kami memilih lokasi yang memiliki kemudahan akses ke fasilitas umum: super market, rumah sakit, SPBU, bank, sekolah, ATM, dan kantor pemerintahan.
Harapan lain dari upacara itu agar nantinya rumah  mendatangkan kebahagiaan, kesejahteraan, kenyamanan, dan barokah.
Pengukuran secara nyelimet dilakukan dengan berpedoman pada gambar mengenai tata letak ruangan, rencana pengatapan, pembuangan air, dan lain-lain. Saluran air, baik air hujan, kamar mandi, dapur, juga dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh agar di kemudian hari tidak menimbulkan masalah.
Dipertimbangkan pula pemisahan saluran dan sumur pembuangan antara air hujan, air sabun, air kamar mandi, air cucian dapur, dan lemak agar saluran tidak mudah mampat.
Agar ukuran setiap jengkal ruang sama persis dengan gambar rencana pembangunan, maka saya bersinergi dengan Mbah Hadi. Usia tidak menjadi penghalang bagi Mbah Hadi dalam menghayati pekerjaan.
Lelaki senja itu terlihat piawai mengukur setiap jengkal ukuran calon bangunan. Beberapa kali matanya melirik gambar  rancangan rumah, tangannya menuliskan angka dengan spidol di rentangan kayu pembatas sambil meyakinkan cucunya untuk menancapkan paku di bagian yang sudah ia beri tanda.
"Aja lali sing tengah nganggo paku  gedhe -- jangan lupa yang tengah pakai paku besar," suaranya berulang kali mengingatkan.
Siang begitu panas membakar. Mbah Hadi tetap bersemangat dengan meteran, angka-angka, spidol, gambar, dan paku...
Setelah batu bata naik, saya kembali memastikan sisa celah di antara tembok pagar belakang dengan dinding rumah. Kali ini saya menemui mandor pembangunan. Lelaki berusia lanjut itu langsung menyapa hangat saat dihampiri.
"Mangga Mas pinarak," sapanya.
"Pojokan menika kira-kira lebarnya berapa, Pak?"
Ia melangkah mendekat. Segera membentangkan meteran yang setia dalam genggamannya.
"Ini dari as masih tersisa satu meter, saged dipun pasang pintu," Â jelas Mbah Waji sambil matanya melihat angka pada meteran berwarna biru.
"Urip niku kudu nrima ing pandum, Mas," paparnya.
"Injih, Pak."
Ia kemudian bercerita kalau berasal dari Boyolali, memiliki cucu yang wajib ditengok setiap dua minggu sekali.
"Menawi kula mboten wangsul, mesti si Genduk rewel -- kalau saya tidak pulang, pasti si Genduk rewel," ujarnya sambil menatap ke langit.Â
Agaknya Mbah Waji tengah mencari wajah cucunya  di bentangan langit yang begitu luas tak terkira...(Herry Mardianto)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI