Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Menghayati Sepetak Rumah

9 Maret 2023   17:49 Diperbarui: 9 Maret 2023   17:53 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahu membahu mewujudkan impian/Foto: Hermard

Dalam buku Omah: Membaca Makna Rumah Jawa, Norberg Schulz, arsitek kawakan, menyatakan bahwa rumah berperan dalam mewujudkan posisi di dunia ini. Pendapat ini berkolerasi dengan makna rumah dalam budaya Jawa sebagai tempat metu, manten, dan mati (keluar, menikah, dan meninggal).

Saat harus meninggalkan rumah lama dua tahun lalu, di usia yang menua, saya dan keluarga memutuskan membeli tanah kapling. Alasannya tentu saja agar pengurusan surat-surat legalitasnya lebih mudah. 

Kami memilih lokasi yang memiliki kemudahan akses ke fasilitas umum: super market, rumah sakit, SPBU, bank, sekolah, ATM, dan kantor pemerintahan.

Selamatan nasi tumpeng dan gudangan/Foto: Hermard
Selamatan nasi tumpeng dan gudangan/Foto: Hermard
Sebagai orang Jawa,  saya bersama ibu negara Omah Ampiran mengawali tradisi membangun rumah dengan upacara slametan, makan bersama saat peletakan batu pertama. Kami menikmati hidangan nasi tumpeng, ingkung, gudangan, jajan pasar, berharap agar pembangunan rumah berjalan lancar tanpa halangan. 

Kebersamaan memanjatkan doa/Foto: Hermard
Kebersamaan memanjatkan doa/Foto: Hermard
Beberapa relasi, saudara, tukang, dan pemimpin doa, semua kebagian nasi tumpeng. Sisanya, dilengkapi beberapa potong  ayam, gudangan, dan jajan pasar, dibawa pulang para tukang untuk dinikmati bersama keluarga di rumah.  

Harapan lain dari upacara itu agar nantinya rumah   mendatangkan kebahagiaan, kesejahteraan, kenyamanan, dan barokah.

Fondasi dan keteguhan cinta/Foto: Hermard
Fondasi dan keteguhan cinta/Foto: Hermard
Pembangunan diawali dengan pembuatan fondasi yang kokoh sebagai alas. Bukankah kebaikan cinta dan rumah sama-sama harus dibangun dengan fondasi yang kuat? Meskipun pada akhirnya fondasi dipendam, tak tampak mata, tetapi ia adalah penyangga kokoh kebahagiaan sejati.

Pengukuran secara nyelimet  dilakukan dengan berpedoman pada gambar mengenai tata letak ruangan, rencana pengatapan, pembuangan air, dan lain-lain. Saluran air, baik air hujan, kamar mandi, dapur, juga dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh agar di kemudian hari tidak menimbulkan masalah.

Dipertimbangkan pula pemisahan saluran dan sumur pembuangan antara air hujan, air sabun, air kamar mandi, air cucian dapur, dan lemak agar saluran tidak mudah mampat.

Agar ukuran setiap jengkal ruang sama persis dengan gambar rencana pembangunan, maka saya bersinergi dengan Mbah Hadi. Usia tidak menjadi penghalang bagi Mbah Hadi dalam menghayati pekerjaan.

Mbah Hadi dan sang cucu/Foto: Hermard
Mbah Hadi dan sang cucu/Foto: Hermard
Mbah Hadi saya temui ketika tengah memberi tanda batas dengan paku berukuran berbeda di rentangan kayu memanjang- mengelilingi calon bangunan -  sebagai penanda batas ukuran masing-masing ruangan. 

Lelaki senja itu terlihat piawai mengukur setiap jengkal ukuran calon bangunan. Beberapa kali matanya melirik gambar  rancangan rumah, tangannya menuliskan angka dengan spidol di rentangan kayu pembatas sambil meyakinkan cucunya untuk menancapkan paku di bagian yang sudah ia beri tanda.

"Aja lali sing tengah nganggo paku  gedhe -- jangan lupa yang tengah pakai paku besar," suaranya berulang kali mengingatkan.

Siang begitu panas membakar. Mbah Hadi tetap bersemangat dengan meteran, angka-angka, spidol, gambar, dan paku...

Bersinergi/Foto: Hermard
Bersinergi/Foto: Hermard
Kerja keras diperlukan agar kita mendapatkan hasil terbaik. Tentu semua harus bersinergi dalam memanfaatkan bahan-bahan yang ada. Hasil yang sempurna selalu diawali dengan perencanaan dan kerja sama berkelanjutan.

Setelah batu bata naik, saya kembali memastikan sisa celah di antara tembok pagar belakang dengan dinding rumah. Kali ini saya menemui mandor pembangunan. Lelaki berusia lanjut itu langsung menyapa hangat saat dihampiri.

"Mangga Mas pinarak," sapanya.

"Pojokan menika kira-kira lebarnya berapa, Pak?"

Ia melangkah mendekat. Segera membentangkan meteran yang setia dalam genggamannya.

"Ini dari as masih tersisa satu meter, saged dipun pasang pintu,"  jelas Mbah Waji sambil matanya melihat angka pada meteran berwarna biru.

Mbah Waji/Foto: Hermard
Mbah Waji/Foto: Hermard

Berdiskusi dengan Mbah Waji/Foto: Hermard
Berdiskusi dengan Mbah Waji/Foto: Hermard
Lelaki teduh dengan keriput mulai menggerogoti sepetak wajahnya itu bukan lelaki sembarangan di antara pekerja lainnya. Ia adalah mandor atau bas bangunan yang disegani. Percakapan kami menjadi kian akrab.

"Urip niku kudu nrima ing pandum, Mas," paparnya.

"Injih, Pak."

Ia kemudian bercerita kalau berasal dari Boyolali, memiliki cucu yang wajib ditengok setiap dua minggu sekali.

"Menawi kula mboten wangsul, mesti si Genduk rewel -- kalau saya tidak pulang, pasti si Genduk rewel," ujarnya sambil menatap ke langit. 

Agaknya Mbah Waji tengah mencari wajah cucunya  di bentangan langit yang begitu luas tak terkira...(Herry Mardianto)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun