Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Menikmati Puasa di Pertemuan Sungai Tungkal

6 Maret 2023   12:43 Diperbarui: 6 Maret 2023   14:23 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puasa masih beberapa minggu lagi. Tapi di layar kaca televisi berbagai iklan minuman dan makanan sudah bersolek dan unjuk diri dengan genit. Saat membuka-buka buku Ngombe (Bilik Literasi, 2018) saya senyum-senyum sendiri ketika membaca pertanyaan: agama apakah yang dianut sirup? Saat lebaran iklannya muncul dengan simbol-simbol Islam, sedangkan menjelang natal iklan sirup berpakaian sinterklas. Agaknya, sirup memang tidak punya agama.

Kuala Tungkal 

Merupakan salah satu kabupaten yang berada di wilayah Jambi,   kota kabupaten dengan mayoritas masyarakat pemeluk agama Islam. Kuala Tungkal dapat dimaknai sebagai tempat bertemunya sungai Tungkal dengan beberapa sungai lainnya.

Dari air putih sampai sirup/Foto: Hermard
Dari air putih sampai sirup/Foto: Hermard
Tahun 1960 -1970-an jika penduduk Kuala Tungkal ke surau/langgar atau masjid dapat dipastikan mengenakan sarung dan kopiah. Tidak ada seorang pun  masuk ke rumah Tuhan tanpa mengenakan sarung dilengkapi  kopiah. 

Setiap waktu salat, jalan menjadi lengang karena pada umumnya orang memenuhi surau atau masjid. Terlebih saat magrib tiba, jalan menjadi senyap. Orang-orang, terutama anak-anak,  tidak boleh keluar rumah kecuali akan beribadah. 

Waktu magrib adalah saat semua orang menutup pintu rumah masing-masing karena takut mendapat bala, dimasuki jin plesit atau setan gentayangan. 

Setelah menjalankan salat magrib, dari surau dan beberapa rumah terdengar orang dewasa mengaji melantunkan ayat-ayat suci Alquran atau anak-anak belajar mengeja huruf-huruf hija'iyah dalam Turutan.

Keriuhan Bulan Puasa
Bagi kami anak-anak pedalaman, bulan puasa merupakan bulan yang paling ditunggu-tunggu. Jika hari-hari biasa kami hanya bisa merasakan air minum  berupa air putih rebusan, di bulan puasa, kami bisa mereguk air berwarna. 

Kalau di hari-hari biasa kami hanya sarapan dengan roti kembung, mie sowa, ketan, atau bubur kacang hijau; maka pada bulan puasa setidaknya bisa berbuka  dengan minum es teh, es air tebu, sambil menikmati kolak, dan berbagai penganan/kue kiriman dari tetangga.

Kue kiriman dari tetangga?
Ya, ini merupakan salah satu tradisi unik di kampungku. Setiap hari mulai jam empat sore, ibu-ibu disibukkan dengan urusan hantaran kue, lauk-pauk, atau sayur dari tetangga terdekat sampai ujung gang. 

Setiap keluarga yang mendapatkan hantaran, wajib membalas pada saat itu juga atau selambatnya esok hari menjelang berbuka puasa. 

Jika ibu negara Omah Sampiran menerima hantaran terlalu banyak, maka ia akan mengatur "lalu-lintas" pertukaran hantaran agar kiriman dari ibu Polan diterima ibu Waru, sedangkan hantaran dari ibu Waru dikirimkan ke ibu Budi. Jangan sampai hantaran itu kembali ke pengirimnya. Berabe! Pamali!

Agar hantaran  tidak semena-mena terkesan "pertukaran", maka ibu negara Omah Sampiran biasanya menyediakan kue/masakan khusus yang akan mendampingi kiriman hantaran dari tetangga. 

Tradisi tukar-menukar hantaran  berlangsung selama sebulan penuh.  Saat itu hantaran  dibikin sendiri karena tidak ada penjual kue atau makanan seperti sekarang ini.

Puasa merupakan malam penuh berkah. Sejak sebelum berbuka, kami anak-anak memasang dan menyalakan lilin di sekitar rumah, terutama di tiang pagar. Tahun 1970-an belum ada lampu penerangan jalan, rumah-rumah menggunakan lampu semprong/teplok dan petromaks. 

Jadi dengan banyaknya lilin yang dipasang di sekeliling rumah, menjadikan malam berubah terang dan rumah terlihat bercahaya. 

Semakin mendekati malam lebaran, jumlah lilin yang dipasang semakin banyak. Beberapa rumah bahkan memasang tangklung atau lampion buatan sendiri dari kerangka bambu ditutupi kertas minyak warna-warni. 

Karena bangunan rumah dan pagar terbuat dari papan dan kayu, maka kami harus selalu mengawasi lilin-lilin yang kami nyalakan. Sebelum lilin habis, kami  menggantinya agar tidak sampai mengenai tiang kayu pagar yang dijadikan alas tempat berdirinya lilin. Kami juga menjaga agar lilin tidak jatuh karena bisa mengakibatkan kebakaran.

Selepas berbuka puasa,  kami berdiri di depan rumah, bermain dengan teman sebaya. Ada beberapa teman yang berjalan keliling menawarkan lilin, kembang api, atau kue.  

Setelah itu kami akan salat tarawih di surau diteruskan dengan mengaji  agar kami dapat menyelesaikan pembacaan Turutan sebelum malam lebaran.

Bagi tokoh masyarakat dan pejabat, biasanya mereka  mendapatkan parcel tiga minggu atau dua minggu menjelang lebaran. Parcel itu berupa kiriman  telur, tepung terigu, mentega, roti kaleng, limun, sarsaparila, buah-buahan, minuman kaleng, dan lainnya. 

Pengiriman parcel pasti tidak lepas dari pandangan mata tetangga karena pengiriman parcel hanya menggunakan becak samping dan dalam jumlah banyak: tepung terigu dua karung, telor tiga peti, limun dan minuman kaleng sampai sepuluh krat.

Masyarakat Kuala Tungkal kala itu  menyambut bulan puasa dan lebaran dengan semangat "menghabiskan uang", seakan-akan uang yang dikumpulkan hanya demi lebaran. Biasanya menjelang bulan puasa, banyak tetangga memperbaiki rumah, mengecat,  mengganti pagar, membeli meja kursi, sampai setoples baru. Pokoknya ada saja yang baru.

Merayakan idul fitri tidak hanya sehari dua hari, melainkan sebulan penuh.  Mengapa begitu? Karena ada peraturan tidak tertulis bahwa kita harus membalas kunjungan keluarga lain setiap mereka datang  bersilaturahmi, meskipun hanya bersebelahan rumah.  Jika tidak melakukan kunjungan balasan, kita dianggap sombong dan tidak tahu adat.

Yogyakarta adem ayem/Foto: Hermard
Yogyakarta adem ayem/Foto: Hermard
Setelah SMP dan pindah ke Jawa, ternyata situasinya berbeda. Orang boleh datang ke masjid atau musala dengan mengenakan celana panjang tanpa kopiah. Saat bulan puasa, tidak ada yang menyalakan lilin, tidak ada tradisi saling berbalas hantaran. 

Lebaran di Jawa biasa saja, berlangsung meriah hanya pada hari pertama dan tidak ada kewajiban membalas kunjungan.

Sampai di sini, saya teringat ungkapan kata bijak: lain ladang lain belalangnya atau desa mawa cara, negara mawa tata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun