Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Suparto Brata dalam Perkembangan Sastra Jawa Modern

31 Januari 2023   10:15 Diperbarui: 31 Januari 2023   10:30 2427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Priyayi versus wong cilik/Foto: Hermard

Kedekatan Suparto Brata dengan dunia cerita detektif melewati proses  panjang. Sampai pada suatu ketika, ia berkeyakinan bahwa roman detektif berbahasa Jawa belum pernah ada sebelum ia mengarang serial detektif Handaka. Baginya---dalam  bacaan berbahasa Jawa---yang ada hanyalah roman kejahatan; yaitu roman yang bercerita tentang  tindak kejahatan. 

Pernyataan tersebut mendapat kritisi dari beberapa pengamat sastra Jawa karena  pada tahun 1956 dan 1957 telah terbit cerita bersambung "Warisan Macan Kumbang" (Soekandar S.G., Jaya Baya,  18 Maret---3 Juni 1956) dan "Lulus ing Pendadaran" (Soekandar S.G., Jaya Baya, 7 April---9 Juni 1957), menampilkan bentuk cerita detektif. 

Ditinjau dari segi waktu, Soekandar S.G. telah menulis terlebih dahulu dibandingkan Suparto Brata. Apalagi antara  "Warisan Macan Kumbang" dan "Pethite Nyai Blorong" (Suparto Brata, 1965) terdapat persamaan teknik pemecahan misteri. Persamaan teknik ini  mengundang kesangsian terhadap pernyataan Suparto Brata. Bahkan, sebelumnya telah hadir karya-karya yang mengandung  episode tindak kejahatan dan pelacakan, terlihat dalam  Sukaca (Sastradiardja, 1923) dan Mungsuh Mungging Cangklakan (Asmawinangun, 1926).

Di sisi lain, Suparto Brata menjelaskan bahwa roman kejahatan berbahasa Jawa biasanya dipukul rata, disamakan dengan roman detektif Tri Jaka Mulya, Kepala Kecu, Kembang Kapas, Gambar Mbabar Wewadi---kisah dan teknik penelusuran kejahatan dan bagaimana tindak kejahatannya bisa terbongkar  umumnya terselesaikan dengan "gampang-gampangan", bukan merupakan hasil penalaran atau pemikiran/penyelidikan, melainkan hanya merupakan peristiwa "kebetulan". 

Titik-titik kejahatan, "kebetulan" ditemukan oleh pelaku utama. Bila judul bukunya saja Gambar Babar Wewadi ('Lukisan Membuka Rahasia'); tentunya pembaca sudah dapat menebak bahwa misteri kejahatan akan terkuak oleh sebuah lukisan! 

Suparto Brata mendefinisikan cerita detektif sebagai cerita tentang kejahatan yang berkisar dan lebih mengupayakan bagaimana melacak serta membuka tabir rahasia kejahatan. 

Detect (bahasa Inggris) berarti mengetahui, menggeledah, menelusur, dan menjumpai. Detektif  adalah sersi (searcher), juru geledah, juru sidik. Detector berarti alat untuk menemukan rahasia. Dengan demikian, roman detektif  sejati berarti cerita atau kisah yang mengupayakan hal-hal  penyidikan atau menelusur teknik untuk menemukan penjahat. 

Dalam bacaan berbahasa Jawa (sebelum Suparto Brata menulis roman detektif), yang ada hanyalah roman kejahatan,  yaitu roman yang  bercerita tentang tindak kejahatan. Roman yang bercerita tentang tindak kejahatan  yang menjadi sumber penulisan roman detektif  Suparto Brata cukup banyak. 

Sejak duduk di kelas empat sekolah Angka Loro, Suparto Brata---yang lebih lancar membaca huruf Jawa (hanacaraka) dari pada huruf latin (gedrik)---mulai  membaca roman kejahatan berbahasa Jawa, salah seorang pelakunya bernama Kyai X. Meskipun tokoh tersebut  bukan polisi, namun secara misterius   berhasil menggagalkan kejahatan. 

Selain itu, Suparto Brata membaca novel Ni Wungkuk ing Bendhagrowong (Jasawidagda, 1938), Topeng Mas, dan Kacu Sandi. Ni Wungkuk ing Bendhagrowong bercerita mengenai seorang wanita tua  (Ni Wungkuk) penderita kusta---dijauhi oleh masyarakat-- yang berhasil menggagalkan tindak kejahatan. 

Novel Topeng Mas terdiri dari tiga jilid, menggunakan huruf Jawa dengan ragam ngoko, bercerita tentang tiga orang prajurit  dari kerajaan Turki, yaitu Hasanbei, Suranbei, dan Sardibei, maju dalam peperangan dan berhasil menundukan lawan-lawan mereka karena mendapat "petunjuk" dari seseorang yang wajahnya tertutup topeng berwarna kuning emas. 

Pada akhir cerita, Sardibei terkena kutuk karena setelah berhasil merampas harta beserta puteri kerajaan, ia tidak lagi "memperhatikan" topeng mas. Cerita Topeng Mas disisipi  kejadian-kejadian mencekam  sekaligus mengejutkan:  putri keraton yang baik hati mendapat fitnah sehingga dikubur hidup-hidup;  suatu ketika putri yang baik hati itu keluar dari kubur menuntut  balas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun