Menurut salah seorang pengelola, waktu memasak gudeg sangat lama, sehingga  proses memasak gudeg  Djuminten dilakukan tiga hari sekali dalam gentong besar berkapasitas satu kuintal dengan memasukkan dua puluh ekor ayam sekaligus.
"Ini jelajah kuliner yang sangat berkesan. Menikmati gudeg enak di tempat klasik, unik, nyaman, diakhiri dengan minuman es beras kencur," tutur Sofia.
Gudeg Jogja sebenarnya memiliki dua varian berbeda, yaitu gudeg basah dan gudeg kering. Masing-masing memiliki penggemarnya sendiri-sendiri.Â
Gudeg basah penyajiannya dilengkapi dengan sayur, daun singkong, dan sambal krecek pedas, sedangkan gudeg kering disajikan dengan dilengkapi sambal goreng krecek  tidak berkuah, areh, dan cabe rawit rebus.
Bagi yang tidak tahu dari mana perjalanan gudeg Yogya dimulai hingga mengepung di setiap penjuru kota Yogyakarta, maka perlu dijelaskan bahwa perkembangan gudeg di Yogja dimulai dari kampung Karangasem, Â wilayah perkampungan yang terletak di sebelah utara gedung pusat UGM, tepatnya di utara Selokan Mataram.Â
Pendapat tersebut didukung  kenyataan bahwa pada tahun 1960-an di wilayah tersebut terdapat banyak pohon gori (nangka) yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan gudeg.Â
Bukti lainnya adalah masih banyaknya pedagang gudeg di wilayah itu, setidaknya banyak di antara mereka berasal dari Karangasem, Barek. Sebut saja misalnya Gudeg Bu Achmad, Yu Djum, Ginuk, Bu Narni, Bu Marto, dan Bu Sri. Â Kampung ini kemudian mulai berkembang di penghujung tahun 1970, banyak rumah baru didirikan, sehingga pohon-pohon banyak ditebangi, termasuk pohon nangka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H