Mohon tunggu...
Herry Darwanto
Herry Darwanto Mohon Tunggu... Freelancer - Ingin menikmati hidup yang berkualitas

Penyuka musik keroncong & klasik, gemar berkebun, penggemar jajan pasar

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Langkah Besar Atasi Kemacetan Jakarta

3 Mei 2019   14:22 Diperbarui: 3 Mei 2019   14:33 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siapapun yang pernah bermukim di kota Jakarta pasti pernah terjebak kemacetan. Setiap keluar dari kompleks perumahan pada pagi hari antrian panjang kendaraan sudah mengular. Di jalan yang lebih besar kemacetan bertambah parah. Bahkan di jalan tol dalam kota, kecepatan kendaraan pada jam-jam sibuk seringkali jauh dibawah kecepatan minimal yang ditetapkan. Kemacetan masih menjadi bagian dari kehidupan warga Jakarta dan sekitarnya.

Penyebab kemacetan sudah jelas, yaitu jumlah mobil dan motor yang melebihi kapasitas jalan-jalan yang ada. Ini karena angkutan umum cepat massal masih sangat terbatas kuantitas dan persebarannya. Hanya 24% dari 10 juta penghuni Jakarta yang menggunakan angkutan umum, selebihnya menggunakan kendaraan pribadi roda 2 atau roda 4.

Mengatasi kemacetan Jakarta tentu sudah sejak lama diupayakan. Kereta api cepat massal (MRT) baru saja dioperasikan. Sebelumnya, transportasi berbasis bus dengan jalur khusus (busway) sudah melayani kebutuhan perjalanan penduduk Jakarta. Namun tetap saja kemacetan masih belum terurai. Banyak orang masih menggunakan kendaraan pribadi untuk pergi ke tempat kerja dan mengantar anak ke sekolah.

Ke depan, Jakarta semakin banyak menampung penduduk yang pindah dari daerah-daerah. Kebutuhan perjalanan akan semakin besar. Tanpa ada upaya yang lebih serius, seperti saat mengambil keputusan membangun jalur busway, MRT dan LRT dahulu, maka kemacetan Jakarta dan wilayah sekitarnya akan semakin parah.

Padahal kelancaran perjalanan menentukan penghasilan penduduk dan pertumbuhan ekonomi, khususnya kelancaran distribusi barang. Bappenas menghitung bahwa kemacetan di Jakarta menyebabkan kerugian sebesar Rp 67 triliun per tahun. Angka ini belum memasukkan kerugian akibat kemacetan di wilayah Bodetabek. Mengatasi kemacetan dengan demikian akan menguntungkan ekonomi makro dan mikro, ekonomi negara dan ekonomi penduduk.

Lantas apa solusinya?

Dua hal ini patut dipertimbangkan dengan serius. Pertama, membentuk otoritas transportasi dengan kewenangan mengatur tetek bengek urusan transportasi se wilayah Jabodetabek dengan berbagai sektor yang terkait. Kewenangan Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) yang ada saat ini masih terbatas, sehingga belum dapat mengimplementasikan Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ).


BPJT perlu ditingkatkan kewenangannya menjadi setingkat menteri dan berada langsung di bawah Presiden. Dengan demikian lembaga ini bisa menguraikan banyak keruwetan yang muncul akibat kewenangan pemda dan instansi pemerintah pusat yang cenderung mengutamakan kepentingan masing-masing. Anggaran yang lebih besar dan kewenangan yang lebih luas akan membuat BPJT yang baru akan lebih mudah mengimplementasikan Rencana Induk tadi hingga ke wilayah-wilayah permukiman.

Perlu dicatat bahwa kewenangan untuk 'mengatur' tidak sama dengan kewenangan untuk 'mengeksekusi'. Untuk itu maka perlu dilakukan hal penting kedua, yaitu melibatkan swasta (dengan skala yang lebih besar daripada yang dimiliki saat ini) dalam pengoperasian sarana transportasi di wilayah Jabodetabek.

Swasta akan bersedia berinvestasi membangun jalur kereta api layang atau bawah tanah dari satu titik ke titik lain di dalam kota Jakarta dan di wilayah Jabodetabek karena prospeknya yang menguntungkan jika dikaitkan dengan pengembangan kawasan di area stasiun dengan pola TOD (transport oriented development).

Namun untuk itu pengusaha swasta butuh kepastian bahwa investasinya dijamin aman dari berbagai resiko seperti penolakan dari masyarakat, persoalan birokrasi, intervensi kebijakan dari pemerintah pusat, dan sebagainya.

Di kota-kota besar dunia, swasta berperan besar sebagai operator transportasi dengan segenap potensi dan tantangan yang dihadapi. Maka di Indonesia, kerjasama pemerintah dan swasta pun dapat dilakukan. Menjalin kerjasama antara dua entitas yang berbeda karakter ini tentunya tidak mudah, bahkan bisa terjadi kegagalan. Namun dengan persiapan yang matang, rinci dan fleksibel secara terkendali, berbagai rintangan itu berpotensi untuk dapat diatasi.

Bappenas sudah merintis model pembangunan kerjasama pemerintah dengan badan usaha (KPBU). Maka tinggal penerapannya secara lebih khusus pada pengembangan transportasi dalam kota yang ditunggu banyak pihak. Untuk itu perlu kebijakan dan peraturan yang lebih rinci.

Kini terpulang kepada pemerintah pusat apakah siap meningkatkan otoritas BPJT dari yang ada ataukah membiarkan BPJT membenahi persoalan transportasi secara kurang terintegrasi seperti selama ini.

Kalaupun kantor-kantor pemerintah pusat pindah ke Kalimantan seperti yang sedang dimatangkan rencananya oleh pemerintah, masalah transportasi di Jabodetabek akan tetap ada karena jumlah penduduk yang terus bertambah dengan berbagai aktivitas dan tuntutannya. Oleh sebab itu keputusan besar sungguh sangat dinantikan dari Presiden terpilih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun