Mohon tunggu...
Herry Darwanto
Herry Darwanto Mohon Tunggu... Freelancer - Ingin menikmati hidup yang berkualitas

Penyuka musik keroncong & klasik, gemar berkebun, penggemar jajan pasar

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pembangunan Tidak Sekedar Pertumbuhan

10 Februari 2018   04:35 Diperbarui: 10 Februari 2018   04:43 1334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di banyak negara, pembangunan yang dilakukan pemerintah tidak membuat seluruh masyarakat senang. Ini karena sebagian masyarakat tidak merasakan ada peningkatan dalam kesejahteraannya. Penghasilan memang naik, namun pengeluaran juga bertambah. Harga barang-barang tidak pernah turun, sering merayap naik secara bergantian. Sementara itu orang-orang kaya seperti bertambah banyak. Semakin banyak orang yang memiliki mobil, membuat ungkapan "yang kaya semakin kaya" menjadi tampak benar. Kesimpulan ini semakin kuat manakala beberapa politisi menyebut pemerintah tidak serius mengelola perekonomian.

Kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin yang tampak semakin lebar sering mengarah pada polarisasi politik dan penurunan kohesi sosial. Jika tidak segera diatasi bisa menimbulkan keonaran sosial. Fenomena ini terjadi di banyak negara maju maupun berkembang.

Kegagalan menyebarkan hasil-hasil pembangunan kepada seluruh penduduk disebabkan oleh diutamakannya kebijakan stabilitas makroekonomi, perdagangan, dan moneter. Media massa juga sering menyoroti target pertumbuhan PDB yang tidak tercapai dan kurang mendalami upaya-upaya pengembangan keterampilan, mengatasi pengangguran, perlindungan sosial, dan lain-lain.

Setiap pemerintah tentunya ingin agar pembangunan yang dilaksanakan dengan sekuat tenaga akan meningkatkan kesejahteraan semua warga, khususnya rakyat yang berpendapatan rendah. Jika yang terjadi adalah kesenjangan yang bertambah lebar, maka perlu dicari apa yang salah dengan model pembangunan yang dilaksanakan selama ini.

Menjawab masalah global ini, World Economic Forum (WEF)  - lembaga non-pemerintah di Swiss yang prestisius -- sejak beberapa tahun yang lalu memperkenalkan kerangka kebijakan dan pengukuran kinerja ekonomi baru.  Model pembangunan baru ini dituangkan dalam publikasi berjudul The Inclusive Development Index.

Menurut laporan tersebut, pertumbuhan ekonomi adalah syarat yang perlu namun tidak cukup untuk menilai perkembangan standar hidup penduduk. Maka dicetuskanlah Indeks Pembangunan Inklusif (Inclusive Development Index).

Dalam konsep ini bidang-bidang kebijakan ekonomi struktural dan kekuatan kelembagaan yang berkontribusi pada pencapaian pertumbuhan yang tinggi dengan manfaat yang luas bagi masyarakat diidentifikasi. Jika dilaksanakan secara proporsional maka fenomena kegagalan pembangunan yang banyak terjadi akan dapat berkurang.

Dalam laporan Inclusive Development Index 2018 ditunjukkan peringkat global Indeks Pembangunan Inklusif (IPI) dari 103 negara yang datanya tersedia. IPI dibentuk oleh 3 pilar dan 12 indikator kinerja utama. Ketiga pilar tersebut adalah:

Pilar Pertumbuhan dan Perkembangan, dianalisis dari indikator PDB per kapita, produktivitas pekerja, harapan hidup, dan lapangan kerja;

Pilar Inklusi, dianalisis dari indikator koefisien Gini penghasilan, tingkat kemiskinan, koefisien Gini kekayaan, dan penghasilan rata-rata;

Pilar Kesetaraan Antargenerasi & Keberlanjutan, dianalisis dari indikator tabungan nasional bersih, intensitas karbon, utang pemerintah, dan rasio ketergantungan.

Beberapa temuan kajian adalah sebagai berikut.

Umum

Pada tahun 2017, lebih dari separoh (64%) dari 103 negara yang dinilai menunjukkan skor IPI yang membaik dalam lima tahun terakhir. Hal ini menunjukkan cukup banyak negara yang berhasil memperluas kemajuan sosioekonominya. Namun keberhasilan ini lebih dikarenakan oleh faktor keberhasilan negara-negara berpendapatan menengah atas, sementara negara-negara berpendapatan rendah tertinggal jauh di belakang.

Sekitar seperempat negara yang disurvei menunjukkan kesulitan dalam menekan kesenjangan sosial namun berhasil dalam meningkatkan pertumbuhan ekonominya.  Kesenjangan pendapatan meningkat atau stagnan di 20 dari 29 negara maju, dan tingkat kemiskinan meningkat di 17 negara maju.

Sebagian besar negara berkembang menunjukkan perbaikan dalam knerja pembangunan inklusif, meskipun tingkat kesenjangan absolut masih tetap tinggi. Dalam pilar Kesetaraan Antargenerasi dan Keberlanjutan, terlihat ada penurunan kinerja pada 56 dari 74 negara berkembang. Hal ini didorong oleh meningkatnya tekanan fiskal dan demografis serta menurunnya tabungan nasional.

Negara-negara yang berhasil membuat proses pertumbuhan lebih inklusif dan berkelanjutan adalah Republik Ceko, Islandia, Selandia Baru, Nikaragua, Rwanda, Korea Selatan, dan Vietnam.

Beberapa negara lain menunjukkan peringkat IPI yang lebih rendah dari peringkat PDB per kapita, misalnya Brasil, Jepang, Nigeria, Afrika Selatan, dan Amerika Serikat. Di negara-negara ini pertumbuhan ekonomi belum menaikkan inklusi sosial.

Pertumbuhan dan keinklusian cenderung tidak berjalan searah. Dari 30 negara dengan kinerja pertumbuhan PDB tertinggi selama lima tahun terakhir, hanya enam negara yang memiliki nilai yang sama pada sebagian besar indikator Inklusi.

Pertumbuhan PDB adalah kondisi yang perlu namun tidak cukup untuk meningkatkan standar hidup. Maka negara-negara sulit mengharapkan pertumbuhan tinggi sebagai obat mujarab untuk masalah keadilan sosial.

Kemajuan ekonomi inklusif berkorelasi dengan tingkat kepercayaan antarwarga yang lebih tinggi. Hal ini membutuhkan pendekatan yang lebih humanis untuk memperbaiki kohesi masyarakat yang terkoyak.

Beberapa negara

Norwegia menduduki urutan teratas pada Indeks Pembangunan Inklusif 2018, merupakan negara paling inklusif di dunia untuk dua tahun berturut-turut. Norwegia berhasil mengelola kebijakan fiskal yang ketat untuk mengangkat pertumbuhan ekonomi yang menurun karena harga minyak anjlok. Visi jangka panjang Norwegia untuk mewujudkan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif dibuktikan dengan kesenjangan pendapatan yang rendah (ke-2), standar hidup rata-rata yang tinggi (ke-1), dan emisi karbon yang rendah (ke-3).

Diantara tujuh negara termaju secara ekonomi (G7), Jerman (ke-12) berada di peringkat tertinggi, diikuti oleh Kanada (ke-17), Perancis (ke-18), Inggris (ke-21), Amerika Serikat (ke-23), Jepang (ke-24), dan Italia (ke-27). Negara-negara ini menunjukkan kinerja yang berbeda dalam pencapaian pilar-pilar IDI.

AS berada di urutan ke-10 dari 29 negara maju dalam pilar Pertumbuhan dan Pembangunan, namun berada di urutan ke-26 dalam pilar Kesetaraan Antargenerasi dan Keberlanjutan, serta ke-28 dalam pilar Inklusi. Sebaliknya, Perancis menempati urutan cukup tingggi (ke-12) pada pilar Inklusi, namun cukup rendah (ke-21) pada pilar Pertumbuhan dan Pembangunan, dan pilar Kesetaraan Antargenerasi dan Keberlanjutan (ke-24). Skor rendah pada pilar terakhir menunjukkan bahwa ekonomi Perancis dapat menghadapi masalah kesenjangan di masa depan.

Diantara negara-negara berkembang (Emerging Economies), enam negara Eropa termasuk dalam 10 negara paling inklusif, yaitu Lithuania (ke-1), Hongaria (ke-2), Latvia (ke-4), Polandia (ke-5), Kroasia (ke-7), dan Romania (ke-10). Negara-negara ini menunjukkan kinerja yang baik pada pilar Pertumbuhan dan Pembangunan, berkat bergabung dalam Uni Eropa.

Amerika Latin menyumbang tiga negara dalam kelompok 10 negara berkembang terinklusif, yaitu Panama (ke-6), Uruguay (ke-8), dan Chile (ke-9).

Peringkat negara-negara dalam kelompok BRICS (semuanya termasuk kelompok negara berkembang) sangat bervariasi, yang terbaik adalah Rusia (ke-19) dan China (ke-26), dan yang terburuk adalah India (ke-62) dan Afrika Selatan (ke-69). Brasil (ke-37) berada ditengah lima negara BRICS.

Tingkat kesenjangan China relatif tinggi, dengan posisi ke-55 di antara 74 negara-negara berkembang pada pilar Inklusi. Koefisien Gini mencapai 51, sekitar 20 poin di atas rata-rata kelompok negara berkembang, dan hampir tidak berubah sejak 2012. Namun China telah membuat langkah mengesankan dalam perjuangan melawan kemiskinan. Pada tahun 2012 sepertiga penduduk hidup dengan penghasilan kurang dari 3,20 dolar AS per hari, kini tinggal 12%.

Indonesia menempati urutan ke-36, satu tingkat lebih baik daripada Brasil. Kelemahan Indonesia adalah pada pilar Inklusi yaitu pada indikator koefisien Gini kekayaan dan penghasilan. Meski terjadi penurunan kemiskinan sejak 2012, dari sekitar 50% penduduk menjadi 33% saat ini, namun kekayaan masih terkonsentrasi pada kelompok kaya.

Koefisien Gini kekayaan berada pada tingkat 84 pada skala 0 sampai 100, termasuk yang tertinggi di dunia dan meningkat sejak 2012. Kesenjangan pendapatan relatif masih lebar (ke-62) dan semakin lebar sejak 2012.

Keberhasilan Indonesia ada pada dimensi Kesetaraan Antargenerasi dan Keberlanjutan, hal ini didukung oleh rendahnya tingkat utang pemerintah, rasio ketergantungan yang relatif rendah, dan cukup tingginya tabungan nasional. Namun intensitas karbon masih sangat tinggi (ke-55), hampir dua kali nilai rata-rata negara berkembang.

Kesimpulan

Untuk meningkatkan inklusi sosial, WEF menyebut dua hal yang perlu dilakukan, yaitu merekonstruksi dan mereformasi ekonomi struktural untuk mendorong inklusi sosial yang lebih luas dan pertumbuhan yang lebih tinggi, serta mengadopsi standar kehidupan berbasis lebar (broad based) untuk mengukur kemajuan ekonomi bagi kelompok bawah.

Ketidakseimbangan sosial ekonomi perlu diakui, diprioritaskan, dan dievaluasi untuk mempertahankan kepercayaan masyarakat dan untuk meningkatkan standar hidup bagi semua.

Diharapkan model pertumbuhan baru ini akan memudahkan penerjemahan aspirasi pertumbuhan inklusif ke dalam tindakan yang konkrit.

***

Isu melebarnya kesenjangan sosial terjadi di berbagai negara, bahkan di negara-negara maju yang mempunyai lebih banyak perangkat untuk mengendalikan daripada kebanyakan negara berkembang. Sistem ekonomi kapitalis atau sosialis tidak mempengaruhi pencapaian pembangunan yang inklusif. Beberapa negara sosialis menunjukkan skor IPI yang rendah.

Membuat hasil-hasil pembangunan dirasakan oleh lebih banyak kelompok masyarakat memerlukan waktu yang panjang, tidak cukup satu atau dua periode pemerintahan.

Konsistensi pada kebijakan dan tindakan yang memihak masyarakat golongan bawah perlu dijaga sambil terus meningkatkan pertumbuhan melalui pembangunan infrastruktur, pengembangan SDM dan menjaga stabilitas ekonomi makro.

Proses pemilihan anggota parlemen dan kepala pemerintah pada tahun ini dan tahun depan perlu dijaga jangan sampai menurunkan kesejahteraan masyarakat golongan bawah.

--o0o--

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun