Beberapa temuan kajian adalah sebagai berikut.
Umum
Pada tahun 2017, lebih dari separoh (64%) dari 103 negara yang dinilai menunjukkan skor IPI yang membaik dalam lima tahun terakhir. Hal ini menunjukkan cukup banyak negara yang berhasil memperluas kemajuan sosioekonominya. Namun keberhasilan ini lebih dikarenakan oleh faktor keberhasilan negara-negara berpendapatan menengah atas, sementara negara-negara berpendapatan rendah tertinggal jauh di belakang.
Sekitar seperempat negara yang disurvei menunjukkan kesulitan dalam menekan kesenjangan sosial namun berhasil dalam meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Â Kesenjangan pendapatan meningkat atau stagnan di 20 dari 29 negara maju, dan tingkat kemiskinan meningkat di 17 negara maju.
Sebagian besar negara berkembang menunjukkan perbaikan dalam knerja pembangunan inklusif, meskipun tingkat kesenjangan absolut masih tetap tinggi. Dalam pilar Kesetaraan Antargenerasi dan Keberlanjutan, terlihat ada penurunan kinerja pada 56 dari 74 negara berkembang. Hal ini didorong oleh meningkatnya tekanan fiskal dan demografis serta menurunnya tabungan nasional.
Negara-negara yang berhasil membuat proses pertumbuhan lebih inklusif dan berkelanjutan adalah Republik Ceko, Islandia, Selandia Baru, Nikaragua, Rwanda, Korea Selatan, dan Vietnam.
Beberapa negara lain menunjukkan peringkat IPI yang lebih rendah dari peringkat PDB per kapita, misalnya Brasil, Jepang, Nigeria, Afrika Selatan, dan Amerika Serikat. Di negara-negara ini pertumbuhan ekonomi belum menaikkan inklusi sosial.
Pertumbuhan dan keinklusian cenderung tidak berjalan searah. Dari 30 negara dengan kinerja pertumbuhan PDB tertinggi selama lima tahun terakhir, hanya enam negara yang memiliki nilai yang sama pada sebagian besar indikator Inklusi.
Pertumbuhan PDB adalah kondisi yang perlu namun tidak cukup untuk meningkatkan standar hidup. Maka negara-negara sulit mengharapkan pertumbuhan tinggi sebagai obat mujarab untuk masalah keadilan sosial.
Kemajuan ekonomi inklusif berkorelasi dengan tingkat kepercayaan antarwarga yang lebih tinggi. Hal ini membutuhkan pendekatan yang lebih humanis untuk memperbaiki kohesi masyarakat yang terkoyak.
Beberapa negara